May 4, 2024

Artha Zone

Created & modified by m1ch3l

Yayuk, Ibunya Rayi Berpulang “Ibu” Saya

Dok. Istimewa

15 Oktober 2020 20:16

SEBATANG Terminalia, daunnya bak lembaran Kelor bergerak ke bawah meneteskan gerimis. Dahannya merentang ke arah pusara. Pemakaman Karet Bivak, Jakarta Pusat, terasa basah.

Alam seperti tak kuasa menahan duka, Jumat, 9 Oktober 2020. Rayi, penyanyi grup musik RAN, menyemai kelopak Mawar, Melati. Beberapa crew kamera program televisi berpakaian hitam menyorot kamera ke wajahnya.

“Allahu Akbar Allahu Akbar.”

Masih terngiang nada serak dilantunkan Rayi. Sebatang jasad, baru saja diazankan, dikhamadkan dan dirata-tanahkan.

SEBATANG Terminalia, daunnya bak lembaran Kelor bergerak ke bawah meneteskan gerimis. Dahannya merentang ke arah pusara. Pemakaman Karet Bivak, Jakarta Pusat, terasa basah.

Alam seperti tak kuasa menahan duka, Jumat, 9 Oktober 2020. Rayi, penyanyi grup musik RAN, menyemai kelopak Mawar, Melati. Beberapa crew kamera program televisi berpakaian hitam menyorot kamera ke wajahnya.

“Allahu Akbar Allahu Akbar.”

Masih terngiang nada serak dilantunkan Rayi. Sebatang jasad, baru saja diazankan, dikhamadkan dan dirata-tanahkan.

Telah dimakamkan Almarhumah Yayuk Rahardjo, Ibundanya Rayi.

Telapak kaki basah saya bercampur lumpur. Tetesan dingin hujan menggelitik telapak kaki ketika berdiri di kanan Budi Rahardjo – – akrab disapa Hank. Ia ayahanda Rayi.

Baik Alamarhumah, mapun Hank, sudah seperti Ibu dan Ayah saya juga. Dari di saat jasad disemayamkan di bilangan Pancoran Selatan, Jakarta Selatan, maupun ketika hendak dishalatkan ke Masjid Kecil, tak jauh dari kediamannya, Hank memperkenalkan saya, “Ini Wandi anak angkat saya.” Begitupun ketika saya mengucapkan duka kepada Anjani, putri bontotnya, Hank memperkenalkan saya “anaknya” juga.

Bagaimana cerita?

Dokpri

Nama lengkap saya Narliswandi, suku Piliang. Syahdan, ketika 1981 masuk SMA Negeri 3 Jakarta, kawan-kawan menyapa Wandi. Di saat SMA itu saya aktif di kegiatan Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Raya (KIR JAYA), sekretariatnya di LIPI, Jl Merdeka Selatan, kini sudah menjadi kawasan kompleks Perpustakaan Nasional. Di organisasi itu saya berkenalan dengan Benny Yusmin, adik bontot Almarhumah Yayuk Rahardjo.
Benny berusia di atas saya. Saking akrabnya Benny menganggap saya seperti adiknya. Acap saya ke kediaman keluarga Benny kala itu di Patamburan, Jakarta Barat.

Ibu Yusmin punya binis catering, sementara ayahandanya, penggubah lagu, memainkan beberapa alat musik terutama piano. Masih ingat bagaimana Pak Yusmin membuat not balok lengkap untuk orkestra. Seingat saya ada beberapa lagu digubah Alm. Pak Yusmin untuk penyanyi era silam, Arie Koemiran.

Di malam hari, Pak Yusmin mengiringi live music, memainkan piano di Nigt Club Stardust di bilangan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Acap saya dan Benny, menjemput Pak Yusmin dinihari, naik Fiat 125. Sesekali kami berdua dari belakang panggung mengintip live music. Bagi saya hal itu sebuah pengalaman tersendiri.

Ada catering, di mana saya juga suka memasak, ada “kakak” keluarganya bermusik, dan Benny aktif pula berorganisasi di KIR. Lengkap magnet saya menetap di keluarga itu.

Tak lama Hank dan Yayuk menikah. Ia mengajak saya mukim bersama keluarga muda itu. Mereka mengontrak rumah petak awalnya di bilangan Rawa Belong, Jakarta Barat. Jadilah kami tinggal serumah bertiga. Saya kala itu ke sekolah acap bersepeda ke Setiabudi, era belum banyak warga Jakarta ber-gowes.

Saya ahirnya menyimak dari dekat bagaimana sosok keluarga muda mandiri, kemudian berbisnis secara spartan,

Setelah menamatkan sekolah pariwisata di Theresia, Jakarta, Yayuk bekerja di Hotel Borobudur, kala itu Hotel Chain Intercontinental, dan Hank bekerja di perusahaan pelayaran Andhika Lines. Keluarga muda pekerja keras.

Saya ingat bagaimana di sebuah akhir bulan, Mas Hank mentraktir makan siang di kantornya di bilangan Gunung Sahari di Jakarta. Semangkok sayur asam masih saya ingat segar kacangnya. Dan di rumah, Almarhumah Yayuk paling suka dengan masakan saya gulai nangka diberi tetelan, Kapau, plus dendeng balado.

“Enak sekali Waang.” puji akrab Mbak Yayuk ke saya.

Hingga menjadi Sales Manager karir Yayuk di Hotel Borobudur. Seiring dengan perjalanan waktu setamat SMA saya kemudian lebih banyak ngumpul dengan kalangan penyair, penulis, wartawan.

Saya simak dari jauh Yayuk mulai mendirikan perusahaan jasa Public Relation. Bila saya tak salah ingat, ia punya PT Gayatri Putra Raharja. Judul depan perusahan itu mengambil nama puteri pertama mereka, kakaknya Rayi.

Dokpri

Macam-macam, klien besar Yayuk. Tak cukup hanya menggawangi jasa PR, ia kemudian mendirikan Indonesia Youth Orchestra (IYO), sekaligus sekolah musik bertajuk IYO. Seingat saya IYO mendapat endorsement dari UNESCO, untuk beberapa program kebudayaan mereka di Indonesia.
Tak cukup hanya berkiprah di bisnis dan musik, Yayuk pun sebagai personal mendalami pengobatan alternative sebagai terapis, berbasis science fisika, dikenal Nutri Energetic System (NES).

Melalui program ini membuat ia kian sibuk ke mana-mana malahan sampai ke manca negara. Akan tetapi sebagaimana kita manusia, terkadang malang tak bisa dihindari, kata Mas Hank, mulai 1990, Yayuk mulai terkena Sorosis. Selain mencoba mengobati sendiri, tentulah mereka berusaha ke sana kemari penyembuhan.

Sampailah kepada Kamis malam pekan lalu itu, Allah SWT memanggil Yayuk, setelah koma 4 hari di ICU rumah sakit.

Adalah Benny Yusmin mengabari kabar duka. Di jam Tahajud saya tanya alamat duka melalui WA kepada Mas Hank. Jelang Jumatan saya sudah berada di rumah duka.

Sepanjang perjalananan, ingatan saya mengalir akan bagaimana dinamika dan ketegaran anak manusia gigih berkarir, pekerja keras tak kenal lelah, dan berpikir serta terus berbuat bagi majunya kebudayaan, peradaban, khususnya musik.

Di saat keranda jenazah hendak di keluarkan dari masjid, hujan turun lebat. Seketika muka Mbak Yayuk melintas menyapa saya. Kental kata-katanya soal masakan saya, “Enak Waang.”

Penyesalan memang datang belakangan. Hingga Jumat pekan lalu itu, saya tak kunjung jua mengantar “Kapau” dan Dendeng Balado untuk Mbak Yayuk. Ia telah pergi selamanya.

Di media saya simak wawancara Rayi. Putera kedua Mas Hank dan Mbak Yayuk, mengatakan ia bermusik karena ibundanya. Lebih dari itu bekal musik keluarga ini memang sudah kental, dari dedengkot musik almarhum Pak Yusmin terutama.

Dalam perjalanan pulang dari pusara ke rumah saya tersenyum, membayangkan Mbak Yayuk tenang, senang, mengahadap Sang Khalik.

Lamat-lamat saya teringat lirik lagu Dekat di Hati, RAN. Dulu ketika saya menyanyikan lagu itu, saya tak tahu bahwa penyanyinya “adik” saya.

Terhadap Mbak Yayuk, bagi mereka yang mengenalnya, hakkul yakin saya mereka akan mengatakan sosok sangat baik, hangat, menyenangkan, walau kini riil nun sudah jauh di mata namun tetap dekat dan lekat di hati pribadinya.
Husnul Khotimah, Ibu Yayuk. Aamiin.

Sumber : https://www.kompasiana.com/iwanpiliang/5f8848ff8ede482c9009e012/yayuk-ibunya-rayi-berpulang-ibu-saya?page=all#section2