April 27, 2024

Artha Zone

Created & modified by m1ch3l

Semangat Kepahlawanan untuk Menuju Indonesia Emas

Pemuda dari berbagai organisai pemuda dan mahasiswa membentangkan spanduk di lokasi bekas Kantor Radio Pejuang Surabaya, Bung Tomo yang telah dibongkar di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (13/5).

Rabu 10 Nov 2021 19:01 WIB – Red: Karta Raharja Ucu

Tekad Indonesia merdeka sudah bulat hingga mampu mengesampingkan segala perbedaan.

 

Oleh : Heka Hertanto, Ketua Umum Yayasan Artha Graha Peduli

REPUBLIKA.CO.ID, Hari Sabtu, 10 November 1945 bertepatan dengan 4 Zulhijah 1364 H terjadi pertempuran dahsyat di Surabaya, Jawa Timur. Saat itu, pertempuran pecah antara tentara Indonesia dan pasukan Inggris. Momen itu merupakan pertempuran pertama tentara Indonesia dengan pasukan asing setelah pasca menyatakan diri sebagai negara merdeka lewat pembacaan proklamasi pada 17 Agustus 1945.

Sebuah pertempuran yang tidak lepas dari Resolusi Jihad yang disuarakan di Kampung Bubutan, Surabaya pada 22 Oktober 1945. Pekikan takbir oleh Bung Tomo dalam setiap pidatonya membakar semangat perjuangan arek-arek Suroboyo. Takbir Bung Tomo dalam pidato-pidato di siaran radio juga membuat hati masyarakat dari semua golongan dan agama di Surabaya bergetar untuk ikut bergabung di medan perempuran.
Tak pelak, pertempuran Surabaya menjadi salah satu perang terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Bumi Pertiwi terhadap kolonialisme.

Bung Tomo dalam bukunya “Menembus Kabut Gelap” menulis sebagai berikut:
“Sebab kekuatan siapa lagi yang akan kita andalkan, sedangkan senjata tidak lengkap. Lawan kita pasukan Inggris sudah siap siaga memusatkan panser-panser dan kapal-kapal perangnya. Kecuali semangat patriotisme, saya kira tidak lain kekuatan kita hanya perlindungan Allah. Perlindungan Allah itu hanya bisa terjadi kalau kita menyadari bahwa Allah itu Mahakuasa. Untuk menunjukkan Allah itu Mahakuasa saya kira perlu diresapkan makna ucapan yang selalu menggetarkan jiwa manusia, baik pada waktu perang maupun waktu mendengar seruan azan, Allahu Akbar,”.

Tulisan tersebut menggambarkan betapa pada saat itu para pejuang tidak memiliki segala sesuatu yang cukup kecuali hanya tekad dan semangat untuk terus berupaya mempertahankan negara Republik Indonesia yang baru saja merdeka.

Para tokoh pejuang sadar bahwa kemerdekaan negara Indonesia memiliki arti yang sangat penting bagi kelangsungan bangsa Indonesia. Komitmen untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka dari segala bentuk penjajahan dan berdaulat untuk dapat menentukan langkah dalam menyejahterakan seluruh bangsa adalah tekad dari para tokoh bangsa sejak awal abad ke-20.

Peristiwa Kebangkitan Nasional di tahun 1908 dan Sumpah Pemuda di tahun 1928 merupakan bukti bahwa tekad Indonesia merdeka sudah bulat sehingga mampu mengesampingkan segala bentuk perbedaan yang ada. Persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia seutuhnya menjadi suatu bentuk yang harus ada untuk menjadi Indonesia yang merdeka.

Setelah Indonesia merdeka jalan yang harus ditempuh pun tidaklah mudah. Kemerdekaan Indonesia itu tidak mendapat pengakuan oleh sekutu sebagai pihak pemenang dari Perang Dunia ke II dan Belanda sebagai bagian dari rencana sekutu untuk kembali menjajah Indonesia. Tanggal 25 Oktober 1945, bala tentara Sekutu dari Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby mendarat di kota Surabaya. Pasukan ini bertugas melucuti tentara Jepang dan mengevakuasi para interniran Sekutu/Belanda yang pernah ditawan oleh tentara Jepang.

Tokoh-tokoh pejuang di Surabaya sudah mencium adanya gelagat tidak baik dari pihak Belanda yang tergabung dalam pasukan sekutu untuk menguasai kembali kota Surabaya. Di titik inilah mulai terjadi bentrokan-bentrokan di seluruh wilayah kota antara pihak Sekutu dan para pejuang yang saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Adanya perjanjian gencatan senjata yang ditanda-tangani oleh pihak Indonesia dan Inggris pada tanggl 29 Oktober 1945 hanya sedikit meredakan suasana.

Masyarakat Surabaya tetap berjuang dengan melakukan perlawanan sehingga bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya masih tetap terjadi. Ketegangan antara sekutu dan para pejuang terus memuncak sampai akhirnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby tewas tanggal 30 Oktober 1945 dalam suatu kejadian bentrokan bersenjata yang tidak jelas penyebabnya.

Kematian Mallaby menyebabkan Inggris dan sekutu marah. Mereka kemudian
mengeluarkan ultimatum bahwa pada tanggal 10 November 1945, Indonesia harus menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan kepada tentara sekutu. Tak cukup sampai di situ, para pejuang juga dituntut menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak Belanda/NICA. Jika tak dipenuhi, mereka mengancam akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila rakyat tidak memenuhi ultimatum tersebut.

Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh rakyat Surabaya sehingga terjadilah pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 selama lebih kurang tiga pekan. Kota Surabaya mendapat julukan “neraka” karena perang selama berpekan-pekan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi kedua belah pihak.  

Pertempuran itu menyebabkan sekitar 20 ribu rakyat Surabaya syahid yang sebagian besar warga sipil, diperkirakan 150 ribu warga mengungsi dan sekitar 1.600 prajurit Inggris tewas, hilang, dan luka-luka serta puluhan alat perang rusak serta hancur. Meskipun banyak pemuda pejuang yang gugur dan luka-luka dalam pertempuran itu, semangat yang membara tak kenal menyerah yang ditunjukkan rakyat Surabaya membuat tanggal 10 November dikenang sebagai hari pahlawan. Atas kejadian itu pula, Surabaya mendapat titel Kota Pahlawan.

Semangat perjuangan ini harus tetap dikenang sepanjang masa karena meskipun Indonesia sudah merdeka selama 76 tahun, tetapi perjuangan untuk menyejahterakan bangsa Indonesia belumlah usai.

Bentuk Baru Perjuangan Bangsa
Setelah 76 tahun merdeka, musuh yang dihadapi bangsa Indonesia telah berubah wujud. Aspek ancaman tidak lagi dari fisik, sehingga sebutan pahlawan tidak lagi diberikan kepada sosok yang menarik pelatuk bedil atau berdiri di garis depan memberi aba-aba serbu dan sebagainya. Itu karena roda zaman telah berotasi cepat mengarah pada perubahan bentuk ancaman lain yang bersifat non fisik.

Di masa kini musuh yang dihadapi bukanlah ancaman penjajahan oleh negara lain melainkan telah berubah menjadi gangguan lain seperti pandemi Covid-19 yang saat ini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Di masa pandemi Covid-19, musuh dan pahlawan tetap hadir sesuai dengan irama waktu.

Musuh tidak perlu lagi dihadapi dengan moncong bedil yang mengeluarkan timah panas. Musuh yang dihadapi anak bangsa pada saat ini adalah bagaimana memberangus virus Corona, menumpas hoaks Covid-19, dan sebagainya. Kita paham, serangan Covid-19 sejak Maret 2020 telah meluluhlantakan sendi-sendi sosial, ekonomi, peradaban manusia dan lain-lain.

Dalam menghadapi pandemi perlu peran seluruh lapisan warga terutama generasi milenial menuntaskan strategi dalam menghadapi pandemi yaitu vaksinasi Covid-19  agar kekebalan komunitas bisa terwujud pada akhir Desember 2021.

Generasi muda  yang merupakan tonggak pembangunan bangsa  memiliki peran terbesar menciptakan inovasi di masyarakat sebagai pelopor kebaikan termasuk pada masa pandemi ini. Golongan pemuda/kaum milenial seperti para pemuda di tahun 1945 harus mengambil peran sebagai pejuang dan pelopor kebaikan untuk memutus rantai Covid-19 dengan mematuhi protokol kesehatan. Pemuda juga diharapkan menjadi corong menyebarkanluaskan informasi di garda depan bangsa. Melalui kecanggihan teknologi, kaum milenial bisa berinovasi memanfaatkan teknologi untuk berbagi kebaikan kepada siapapun dan di mana pun berada.

Kita bisa bergadengan tangan mengajak warga untuk mematuhi protokol kesehatan melalui media sosial atau dengan media informasi lainnya tanpa bertemu langsung dengan menyajikan edukasi kreatif perihal Covid-19 dan hal-hal bermanfaat.

Ancaman bentuk baru yang sekarang dihadapi selain pandemi adalah ancaman perubahan iklim sebagai dampak dari adanya ketidak pedulian terhadap kelestarian alam seperti masalah sampah yang ada disekitar kita. Menurut Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, masalah sampah merupakan persoalan nasional yang memerlukan pengelolaan secara holistik, sistemastis dan terintegrasi.

Data pada tahun 2019 KLHK mencatat jumlah timbunan sampah sebesar 67,8 juta ton/tahun yang terdiri dari sampah organik 57 persen, sampah plastik 15 persen, sampah kertas 11 persen dan sampah lainnya sebesar 17 persen. Ancaman sampah adalah ancaman riil yang ada disekitar kita dan apabila tidak ditangani akan berdampak kepada pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan. Pahlawan masa kini niscaya adalah para tokoh yang telah berhasil memimpin menyelesaikan masalah sampah di daerahnya masing-masing.

Setiap masa yang berbeda selalu menyajikan peluang dan tantangan masing-masing dalam menghadapi setiap ancaman bagi kehidupan sebuah masyarakat yang ada di suatu negara. Pertempuran 10 November 1945 adalah salah satu perjuangan yang mengorbankan jiwa raga agar Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Sejalan dengan belenggu penjajahan, perjuangan di masa Covid-19 untuk Indonesia lepas dari serbuan varian Corona dan dari bentuk ancaman perusakan lingkungan alam.

Perjuangan pada 1945 dan 2021 sama beratnya. Kita tidak bisa menilai ini lebih penting atau lebih berat. Sebab setiap era ada masalah dan solusinya tersendiri. Inti yang bisa dipetik dari momen 10 November 1945 yakni pada masa sekarang harus terpatri semangat pantang mundur seluruh rakyat dari Sabang ke Merauke, dari Miangas ke Rote, membebaskan Ibu Pertiwi dari virus penyakit atau virus-virus lain yang menggerogoti  sendi-sendi Nusantara.

Semangat perjuangan 10 November 1945 tidak boleh luntur dan harus tegak lurus bersama merawat Garuda Pancasila hingga puluhan tahun lagi pada 2045 dan selanjutnya hingga kiamat  turun.

Perang 10 November 1945 sangat erat dengan peran ulama serta resolusi jihad perang besar. Kini, pada masa 2020-2021, rakyat Indonesia  juga sedang berjihad dan berjibaku perang menghadapi pandemi dan kerusakan lingkungan.  

Selalu ada perang/konfilik dalam topeng yang berbeda. Ada perjuangan menghadapi konflik paling besar yang menjadi tanggung jawab seluruh elemen warga yakni mengusung Indonesia menjadi negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

 

sumber: https://www.republika.co.id/berita/r2cupv282/semangat-kepahlawanan-untuk-menuju-indonesia-emas-part1