April 25, 2024

Artha Zone

Created & modified by m1ch3l

Menggalang Solidaritas, Menghadang Stigma

Landing Craft Utility (LCU) KRI dr Soeharso mengangkut 188 WNI ABK World Dream untuk diobservasi di Pulau Sebaru Kecil, Kepulauan Seribu, Jakarta, Jumat (28/2/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nz

WABAH COVID-19

1 March 2020, 12:14 WIB
 
 
Corona virus disease 2019 (Covid-19) telah menjadi ancaman nyata bagi warga dunia. Pencegahan penyebaran terus dilakukan, termasuk dengan tidak memberikan stigma.
 

World Health Organisation (WHO) bekerja sama dengan sejumlah organisasi kemanusiaan dunia, di antaranya dengan UNICEF, Federasi Palang Merah, dan Bulan Sabit Merah Internasional, kini tengah mengencarkan upaya untuk mencegah munculnya stigma, menyusul wabah Covid-19 yang mendera sejumlah negara di berbagai belahan bumi.

Dalam siaran pers yang diunggah laman resmi badan kesehatan internasional itu, pada Selasa (25/2/2020), Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus kembali menggaungkan imbauan agar warga dunia senantiasa mengedepankan semangat “solidaritas, bukan stigma” terkait hal seputar Covid -19.

Perlawanan terhadap stigma tersebut dinilai penting, menurut Tedros, demi meminimalisir ketakutan orang. Dengan didera ketakutan, dikhawatirkan orang akan menyembunyikan penyakit, tidak segera mencari perawatan kesehatan, dan mencegah mereka mengadopsi perilaku sehat.

Dampak negatif dari munculnya stigma sosial dikhawatirkan tidak hanya berpengaruh terhadap mereka yang menderita penyakit, tapi juga keluarga, teman, dan komunitas. Bahkan, orang yang tidak terinfeksi penyakit, tetapi berbagi karakteristik lain dengan kelompok itu, juga dapat menderita akibat stigma tersebut.

WHO menegaskan, kemunculan stigma negatif Covid-19 didasarkan pada sejumlah faktor utama. Di antaranya, Covid-19 merupakan penyakit baru dan masih banyak menyimpan misteri. Terkait itu pulalah, WHO kemudian melansir panduan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika berbicara tentang COVID-19.

Berbicara tentang perlawanan terhadap stigmatisasi Covid-19, bisa dilakukan salah satunya dengan melakukan karantina penanganan khusus terhadap mereka yang memiliki riwayat interaksi di kawasan atau negara terdampak langsung. Harapannya, dengan langkah itu bisa diperoleh kepastian kondisi kesehatan setiap individu, sehingga ketika kembali ke tengah masyarakat akan terhindar dari stigma.

 

Proses Karantina

Sebagaimana diketahui, di Indonesia berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, sebagai wujud negara hadir dalam memberikan perlindungan bagi warga negaranya menghadapi ancaman masuknya virus mutan Corona. Langkah yang dilakukan di antaranya mencegah dari hulu hingga ke hilir. Mendeteksi dini kondisi kesehatan mereka yang datang di 135 pintu masuk negeri, menyiapkan 100 rumah sakit yang siap untuk melakukan penanganan isolasi sesuai standar, melarang penerbangan dari kawasan-kawasan terdampak langsung, menggaungkan beragam anjuran sebagai upaya preventif kesehatan merupakan sejumlah langkah yang digelar.

Dan yang terkini, selain terus melakukan modifikasi terhadap metode dan perangkat deteksi dini atas penyakit, pemerintah juga memberlakukan pembatasan kontak langsung masyarakat yang ada di dalam negeri dengan mereka yang datang atau berasal di negara terdampak, di antaranya melalui langkah karantina.

Seperti diketahui, untuk mereka yang datang dari kawasan terdampak langsung, pemerintah di antaranya memilih untuk melakukan proses karantina. Hingga kini, pemerintah diketahui telah menuntaskan proses karantina terhadap 285 WNI. Mereka merupakan WNI yang sebelumnya mendiami Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok—tempat virus yang dinamai SARS COV-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) oleh International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV)– pertama ditemukan menginfeksi manusia, pada Desember 2019.

Berdasarkan serangkaian pemeriksaan (observasi), baik saat mereka berada di Wuhan maupun saat proses karantina yang dilakukan selama 14 hari di Natuna, Kepulauan Riau, mereka dinyatakan negatif terinfeksi virus mematikan itu. Alhasil pada Sabtu (15/2/2020) sekitar 13.55 WIB, para WNI tersebut diterbangkan menuju Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, untuk kemudian dikembalikan ke daerah asalnya masing-masing.

Kemudian sesuai rencana, pemerintah juga kembali menggelar observasi melalui karantina terhadap 188 WNI yang merupakan ABK Kapal Pesiar World Dream. Para WNI diangkut dengan kapal TNI-AL KRI dr Soeharso dari sebuah titik di sekitar perairan Selat Durian, yang berada antara Singapura dan Batam. Terhadap mereka, proses karantina dilakukan di Pulau Sebaru Kecil, yang terletak di gugus Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, sejak Jumat (28/2/2020).

Selain menggelar proses karantina terhadap ratusan ABK World Dream, pemerintah juga berencana melakukan observasi lewat pengkarantinaan 68 orang, dari total 78 ABK WNI di kapal Diamond Princess, yang bersandar di Pelabuan Yokohama, Jepang, sejak 3 Februari 2020.

Diketahui, pemerintah memang sudah memutuskan untuk segera memulangkan WNI yang menjadi ABK di kapal itu. Rencananya, para ABK Diamond Princess akan dikarantina di tempat yang sama dengan 188 ABK World Dream.

Menko PMK Muhadjir Effendy, beberapa waktu lalu mengatakan, Presiden Jokowi sudah memutuskan untuk segera mengevakuasi 68 ABK di kapal Diamond Princess yang saat ini bersandar di Yokohama, Jepang, dengan menggunakan pesawat dan memberlakukan protokol kesehatan sangat ketat.

Meskipun 68 ABK ini sudah mengikuti pemeriksaan spesimen dan masa observasi yang dilakukan otoritas Jepang, sesuai standar WHO, mereka akan tetap menjalani pemeriksaan ulang dan karantina setibanya di Indonesia.

Belum disampaikan secara terang, bagaimana penempatan ABK dari dua kapal yang berbeda tersebut di lokasi karantina kelak. Hanya saja, diketahui observasi terhadap 188 ABK World Dream yang semuanya sampai saat ini dinyatakan negatif akan dilakukan selama 14 hari atau satu kali masa inkubasi.

Itu berbeda dengan pelayanan medis yang diberikan kepada awak Diamond Princes. Lantaran mereka berasal dari epicentrum baru Covid 19 dan pernah kontak langsung dengan kasus positif, besar kemungkinan terhadap mereka harus diberlakukan masa karantina atau observasi selama dua kali masa inkubasi atau 28 hari.

Sedangkan ihwal daya tampung karantina di Pulau Sebaru Kecil, Pemerintah Indonesia berencana menambah kapasitas tempat tidur ini agar bisa menampung semua orang yang akan dikarantina.

Seperti diketahui, Pulau Sebaru Kecil, yang dipilih sebagai tempat karantina, merupakan pulau tanpa penghuni. Demikian juga pulau-pulau di sekitarnya.

Areal Pulau Sebaru Kecil itu pernah digunakan sebagai tempat rehabilitasi pecandu narkoba. Dan walau klinik rehabilitasi narkoba yang ada di sana dibangun sejak 2008, tetapi kondisinya hingga kini masih terpelihara dengan baik.

Tempat itu juga memiliki fasilitas cukup lengkap mulai dari kamar, tempat tidur, ruang makan, fasilitas dapur, dan fasilitas penunjang lain seperti air juga listrik, dengan jumlah kamar tidur sebanyak 168.

 

Penulis: Ratna Nuraini
Editor: Firman Hidranto

sumber: https://www.indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/menggalang-solidaritas-menghadang-stigma