November 5, 2024

Artha Zone

Created & modified by m1ch3l

Menangis Makan Rendang di World Expo Milan

blog.8share.com

RAISA

Milan Expo! Kebetulan sekali saya berada di Milan, Italia, ketika pelaksanaan World Expo. Dalam Expo sebelumnya di Shanghai, saya tidak keburu kesana karena keburu pulang ke Indonesia. Padahal, konon paviliun Indonesia cukup bagus! Kali ini, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Milano Expo, saya datang!

Image via http://harrynazarudin.blogspot.com/

Harga tiket yang saya beli adalah khusus kunjungan malam karena di sela-sela tur, seharga EUR 5,- per orang. Karena ini musim panas, yang disebut ‘malam’ itu terang benderang sampai jam 10 malam! Jadi, cukup waktu untuk berkenalan dulu dengan expo.

Berbeda dengan Shanghai, Milano memang kota maskot untuk Italia Utara. Di mata saya, Italia Utara ini lebih mirip Jerman! Dari Milan lebih dekat ke Zuerich, Salzburg, atau Brussels daripada ke Roma! Makanya, sejak dari tempat parkir, terlihat struktur bangunan yang kekar, antrian yang tersusun rapi, sistem scan karcis yang canggih. Dan, karena ini musim panas, banyak rambut pirang dan hidung mancung! Hehehe…

Jalan dari tempat parkir ke tempat expo cukup jauh untuk ukuran Indonesia, kira-kira 30 menit berjalan kaki melalui jembatan besar beratap yang melintasi jalan tol. Setelah selesai jembatan, baru ada tangga turun dengan ‘Tree of Life’ di depannya – sebuah model pohon mirip dengan struktur di Clark Quay Singapura. Pohon ini menjadi maskot untuk tema tahun 2015 – “Feeding The Planet – Energy For Life”.

BERTEMU RENDANG DI MILAN

Feed The Planet? Wah, ini tema kuliner! Pasti stand Indonesia punya konsep menarik! Apalagi rekan saya sudah mabok makan spageti (padahal baru 3 hari!), dan langsung memaksa saya ke stand Indonesia, siapa tahu ada makanan disana. Oke! Kami mengikuti peta dan berjalan. Suasana sangat meriah, pengunjung dari berbagai bangsa tumpah ruah. Tempat expo sendiri sangat luas, atapnya dari struktur tenda yang tinggi. Dari tangga kita bisa belok ke kanan atau ke kiri, dimana di kedua sisi terdapat jajaran paviliun tiap negara yang ikut serta.

Wow, kami terkesan. Paviliun Qatar menjulang tinggi, Paviliun Jepang dibentengi oleh struktur kayu yang menarik. Paviliun Rusia, dengan cerdik menampilkan teras dari kaca yang kira-kira 3 meter menjorok ke depan, membuat pintu masuknya megah dan bisa selfie. Sesuai budaya Rusia, seperti yang kita lihat di film-film, musik tekno berdentum keras seperti di diskotik, dan nampak wanita-wanita pirang semampai ditemani pria berwajah seram berkacamata hitam. Spasibo!

Keinginan masuk paviliun harus ditahan dulu, karena paviliun Indonesia masih di depan. Di sebelah kiri ada Paviliun Estonia, entah dimana negaranya tapi paviliunnya berdiri megah dengan bahan kayu pinus dengan display elektronik. Lalu sebelah kanan, ada paviliun Turkmenistan! Mungkin cuma Agustinus Wibowo yang pernah kesana! Tapi paviliunnya…. Keren! Sebuah air mancur menari nampak di depannya, dan karpet raksasa yang rupanya khas Turkmenistan. Wow! Sepertinya menarik! Menurut peta, sebelahnya stand Indonesia. Tapi… mana? Kok tidak kelihatan?

ROTAN PLASTIK DAN GARUDA

Setelah memicingkan mata, baru terlihat. Astaga, karena Turmenistan paviliunnya tiga lantai dan Indonesia cuma satu, jadi ketilep! Haduh, kasihan amat. Ya sudah, kami cek in dulu disitu. Patung seekor badak dari perunggu menyambut di pintu, dengan kolam kecil dari batu, seperti masuk ke restoran Sunda. Nama Indonesia nampak terpajang di depan beserta bendera dan lambang garuda. Rupanya, tema paviliun Indonesia adalah struktur dari rotan plastik.

Kamipun masuk ke dalam. Ruangannya berbentuk oval, hanya satu, dengan panjang kira2 8 meter. Sekeliling dinding hitam dengan foto dan tulisan, lalu di bawahnya diletakkan barang-barang seni seperti periuk, wajan, anyaman bambu. Sekilas mirip display di lobby hotel bintang lima di Jakarta atau museum di Taman Mini. Ada berbagai macam wayang, dan di tengah ruangan ada ukiran kepulauan Indonesia dari kayu yang diletakkan setinggi pinggang dan diisi oleh rempah-rempah – cengkeh, kemiri, dan sebagainya. Mana kulinernya? Kami berpikir, wah siapa tahu ini terasnya saja! Mungkin ada masuk ke dalam lagi yang lebih keren lagi!

Salah satu sudut paviliun Indonesia. Image via http://harrynazarudin.blogspot.com/

Ketika kami bergegas masuk, ternyata itu pintu keluar – sudah, segini aja paviliunnya! Ya amplop, pikir saya. Dan catat bahwa saya tidak punya perbandingan karena paviliun ini adalah yang pertama yang saya masuki! Lalu di samping kanan belakang gedung, ada restoran prasmanan kecil. Ya sudah lah, sebagai warga negara yang baik, kita makan disini. Temanya ‘Feed The World’ bukan? Pasti enak makanannya! Eh ternyata yang ditampilkan adalah rendang, telur, sayur buncis, mirip prasmanan pernikahan di pedesaan (dengan budget Rp 25.000,- per orang). Berapa harganya? 20 Euro per orang termasuk minum!

Astaga! 20 Euro? Mak, semalam kita bertiga makan di La Bruschetta Milan, habis 40 Euro untuk bertiga, kenyang setengah mati menikmati pizza, pasta, dan salad. Ini… Untuk bertiga 60 Euro, dan untuk prasmanan nikahan pulak! Tadinya saya mau mogok, tapi dipaksa kedua teman saya. Okelah, saya makan dengan sedih. Sedih, karena cuma sepiring prasmanan inilah persembahan Indonesia untuk Expo Dunia! Sedih, sebagai seorang penulis dan penikmat kuliner Indonesia, bahwa cuma empat jenis hidangan inilah perwakilan kita. Sedih, karena sudah mahal, gak enak lagi! Sedih!

Sebagai perbandingan, saya membuat sebuah aksi protes kecil. Saya berfoto di setiap stand yang saya kunjungi dengan memegang uang 20 Euro, sebagai simbol kesedihan saya! Fotonya bisa dilihat disini. Seperti apa sih paviliun negara lain?

QATAR YANG INTERAKTIF

Karena temanya adalah ‘Feed The Planet – Energy For Life’, maka setiap negara menampilkan dua wajah – kuliner dan sumber daya alamnya. Karena penasaran kami masuk ke paviliun Turkmenistan yang persis di sebelah. Wajah pemimpinnya – namanya susah disebut – nampak dipampang di depan. Paviliunnya berlantai marmer! Dalam paviliun ini, ditampilkan karya seni Turkmenistan di lantai satu, lalu industri minyak dan gas di lantai dua. Belasan TV LCD memampang kemajuan Turkmenistan – negara mayoritas Muslim berpenduduk sekitar 5 juta orang yang merdeka tahun 1991. Di atapnya, ada sebuah restoran kecil menyajikan makanan Turkmenistan (harga 5-12 Euro per porsi) dan sebuah display tenda yang cantik, sebagai simbol sifat nomaden Bangsa Turkmen. Keren! Paling keren? Nanti dulu.

Kami mampir ke paviliun sebelahnya: Qatar! Oke, ini negara minyak dan gas yang kaya raya, jangan dibandingin dong sama Indonesia yang kaya sumber daya alamnya. Jiah! Tangga masuknya saja sudah keren, dengan air mengalir di tengah, rupanya ini arsitektur khas Qatar. Masuk ke dalam, ada ruang pamer khusus untuk kuliner Qatar dengan cara pamer yang unik. Satu hidangan lengkap nasi mandi nampak berukuran raksasa diletakkan di tengah dari plastik, sementara di sisi kiri dan kanannya banyak TV LCD interaktif. Pengunjung bisa memilih satu elemen dari hidangan Qatar – misalnya hummus – maka akan muncul keterangan bahannya, resepnya, dan sejarahnya secara interaktif. Edan! Andai gudeg bisa ditampilkan seperti ini…

Estonia, negara mini entah dimana (ini di Eropa, termasuk negara Baltik) tampil sederhana dan menarik, dengan panel kayu cemara dan LCD interaktif tentang budaya dan makanan Estonia (lengkap dengan resto kecil tentu saja). Jepang, tentu saja memajang restoran sushi dan ramen diantara struktur dinding kayu yang rapi, unik, kreatif. Slovakia, merajut wajah manusia raksasa di dindingnya! Ecuador tampil cantik dengan warna-warni benang tenun sebagai dekor gedungnya..

PERTARUNGAN DUA GAJAH

Menarik menyimak tema dari dua negara besar yang berseteru dalam selimut: Amerika Serikat dan Rusia. Paham bahwa ini di Eropa, Rusia menyajikan ruangan khusus untuk Dmitri Mendeleyev, sang jenius penemu tabel periodik (jenggotnya jadi idaman semua mahasiswa kimia!). Lalu di lantai berikutnya, Rusia melukiskan betapa luas wilayahnya, dari Kaukasus sampai ke Siberia. Kemudian ada satu lantai – yak, lantai segede bagong! – yang membahas kekuatan agrikultur Rusia, dengan batang gandum yang disusun rapi, traktor raksasa buatan Rusia, serta evolusi teknologi pangan dari jaman Sovyet sampai sekarang. Kesannya megah, wah, besar luar biasa!

Lalu, bagaimana Amerika Serikat? Hmmm, cerdik memang negara ini. Membahas makanan, tentu saja negara ini ciut nyalinya, karena terkenal sebagai penghasil ‘junk food’ – dan ini di Italia, surga makanan enak dan sehat! Tetapi, Amerika tampil percaya diri dengan tema ‘One in nine billion’ – satu dari sembilan milyar. Bahwa saat ini ada 9 milyar manusia di dunia ini, dan saya salah satunya! Maka Amerika Serikat, tentu dengan Pak Obama gagah berpidato di depan lewat LCD, menguraikan bagaimana Amerika Serikat ‘membantu dunia’ dalam ketahanan pangan melalui teknologi genetika, bagaimana riset energi terbarukan membantu mencegah pemanasan global, serta bagaimana Amerika ‘memimpin dunia’ dalam riset ketahanan pangan!

Saat Rusia masih ngomongin diri sendiri, Amerika sudah mikirin dunia! Hebat, sebuah jab kanan yang membalas hook kiri lawan dengan tepat!

Bahkan di lantai atas, ada…. Stand makanan Amerika! Ada salad organik, sandwich subway, diet Coke, dengan penjaga stand mahasiswa bergaya santai ala Amerika. Hayyah!

BAHAYA LATEN KORUPSI

Sambil nongkrong di teras atas paviliun Amerika, saya memandang matahari terbenam di Milan sambil ingin menangis karena ingat rendang Indonesia tadi.Kok gini amat ya, negara kita. Lebih sedih lagi, ketika malamnya saya penasaran browsing, dan menemukan bahwa pemerintah memutuskan tidak ikut World Expo 2015 karena ‘penghematan’, sehingga pelaksanaannya diambil alih koperasi swasta pimpinan Kang Didi Petet. Biayanya: delapan puluh milyar rupiah alias delapan juta dollar AS!

Ceritanya tidak hanya sampai disitu. Ketika ada isu bahwa dananya terlalu besar, seorang pejabat pemerintah langsung bilang kira-kira begini: “Enggak kok, gak korupsi! Wong pemerintah tidak mengeluarkan uang sama sekali. Bahkan tarif bea cukai ekspor untuk pameran inipun kami kenakan 100%! Hebat kan saya? Jujur kan saya?”

Astaga Pak, sudah berjuang untuk nama Indonesia, dipajak pulak! Ini namanya sudah gak dikasih modal, usaha sendiri, masih dirampok pulak sama negara! Kasihan Kang Didi Petet. Mohon maaf ya Kang…

MARI LEBIH BAIK DI MASA DEPAN!

Seperti sudah ditulis Uni Lubis, ada pesan yang ingin saya sampaikan. Sebagai rakyat biasa, pemerhati kuliner, pecinta makanan Indonesia, yang kecewa karena tema ‘Feed The Planet’ terbuang sia-sia. Melihat tampang satu keluarga bule Italia yang manyun setelah makan rendang dan diminta bayar 20 Euro, hati saya semakin sedih! Mungkin, dia langsung membatalkan liburannya ke Bali dan memilih pergi ke Estonia!

Inilah ‘bahaya laten korupsi’. Karena takut korupsi, atau disangka korupsi, atau dibuat seolah-olah korupsi, maka bangsa kita kehilangan tenaga untuk mengorganisir suatu proyek yang besar. Jadi ingat kisah Pak Bondan soal ‘Ekspedisi Phinisi Nusantara’ (BYKS ya Pak) yang dananya dari rakyat dengan wesel pos! Dulu kita bisa, karena kita percaya. Sekarang, untuk bikin paviliun saja kita tidak mampu, saking takutnya pada yang namanya korupsi! Yuk ah, kira pikirkan caranya bagaimana agar ‘hantu korupsi’ ini jangan menyandera kebanggaan kita berbangsa. Dan yuk kita lebih baik lagi di masa depan…!

Sambil masih menangis sedih, kali ini karena beli air minum seharga EUR 1,50 (600 ml hampir lima puluh ribu!), saya pun melangkah pulang, ditemani nyamuk-nyamuk nakal dan langit malam Milan yang mulai gelap gulita…

Salam,

Harnaz

Paviliun Turkmenistan yang memajang tenda nomaden khas Turmen di lantai paling atas. Image via http://harrynazarudin.blogspot.com/

Paviliun Estonia, sederhana namun masif dengan LCD yang menampilkan video berulang mengenai budaya, energi, dan makanan di Estonia.

Model sebuah laboratorium kimia, dalam ruangan Dmitri Mendeleyev di paviliun Rusia, yang menampilkan kebanggaan Rusia pada si jenius Mendeleyev, penemu tabel periodik.

Artikel ini ditulis oleh Harry Nazarudin di blognya, harrynazarudin.blogspot.com.

sumber: http://blog.8share.com/id/menangis-makan-rendang-di-world-expo-milan/