November 5, 2024

Artha Zone

Created & modified by m1ch3l

Indonesia Butuh Jembatan Selat Sunda

Ilustrasi Jembatan Selat Sunda (https://kickdahlan.wordpress.com)

Minggu, 03 Juli 2016 19:22 WIB

WE Online, Merak –
Puluhan plastik dan bungkusan sampah lainnya berterbangan di jalan jelang Pintu Tol Merak, Minggu pagi (3/7). Sampah itu bekas pemudik yang akan menyeberang ke Sumatera untuk merayakan Idul Fitri 1437 bersama sanak keluarganya.

Antrian panjang selalu terjadi setiap tahun. Semakin tahun, lama antrian terus meningkat, lima jam tahun lalu, tahun ini hingga tujuh jam. Tahun sebelumnya (2014), lama antrian hingga sembilan jam dikarenakan posisi hari libur memaksa pemudik memilih hari yang hampir bersamaan untuk berangkat dari rumah masing-masing dan menumpuk di Pelabuhan Merak.

Ini adalah konsekwensi logis dari derap pembangunan di kedua pulau, Jawa dan Sumatera. Keduanya adalah pulau terpenting di Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Sejumlah 57,5 persen dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia bermukim di Jawa dan 21,3 persen di Sumatera.

Pemerintahan Jokowi-JK memprioritaskan pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera dan Tol Trans Jawa. Jalan Tol Trans Jawa perkembangannya sangat besar. Saat ini dari Pelabuhan Merak sudah terhubung hingga Brebes, Jawa Tengah.

Pembangunan terus dipacu hingga Surabaya, juga ruas tertentu di Jawa Tengah, seperti Semarang menuju Solo, begitu juga dengan ruas Surabaya menuju Solo.

Sementara pembangunan jalan tol Trans Sumatera juga sedang digalakkan, seperti ruas tol di Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Aceh.

Pergerakan manusia, baik karena alasan sosial, ekonomi dan alasan lain di kedua pulau sudah terjalin lama, sejak kolonial Belanda membuka perkebunan yang mendatangkan pekerja dari Jawa.

Pada 1929, lebih dari 260.000 pekerja kontrak Cultuurstelsel dibawa ke pesisir timur Sumatera dan 235.000 orang di antarnya berasal dari Pulau Jawa.

Di era kemerdekaan, pemerintah melaksanakan program transmigrasi dan pada puncaknya 1979 hingga 1984 dimana 535.000 keluarga (hampir 2,5 juta jiwa) berpindah dari desa/kota asalnya yang sebagian besar dari Jawa.

Dampak, pada tahun 1981, 60 persen dari 3 juta penduduk provinsi Lampung adalah transmigran. Pada tahun 1980-an, program ini didanai oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.

Sementara, orang Sumatera dikenal sebagai perantau tangguh yang menyebar di kota-kota besar di Jawa sehingga sejarah pergerakan penduduk di kedua pulau sangat merata.

Suku Jawa mudah ditemukan di Aceh hingga Lampung, begitu juga dengan orang Sumatera juga mudah dijumpai di kota-kota di Jawa.

Menimbang kondisi demikian, pola transportasi dengan mengandalkan kapal ferry untuk menghubungkan kedua pulau sudah lama tidak layak. Minimal dalam lima tahun terakhir.

Satu Juta Penumpang Indonesia menanti ledakan antrean di tahun-tahun mendatang, meski harus diapresiasi upaya PT ASDP untuk menekannya dengan memperbanyak loket, termasuk inovasi membuka loket di rest area kilometer 43 dan 66 tol Jakarta-Merak, dan di Hotel 56, Kalianda, Lampung, untuk arus balik yang buka selama 24 jam penuh tiap harinya.

PT ASDP memperkirakan terjadi peningkatan pengguna jasa penyeberangan sebesar 13 persen tahun ini, truk sebanyak empat persen, sepeda motor empat persen, mobil kecil delapan persen, dan bus sebanyak lima persen.

Jumlah total penumpang diperkirakan mencapai lebih dari satu juta orang, sedangkan total jumlah kendaraan mencapai lebih dari 200 ribu unit kendaraan.

ASDP memperkirakan jumlah trip kapal akan naik dua persen, dari 1.566 trip pada tahun lalu menjadi 1.597 trip tahun ini.

Kondisi ini diyakini akan terus melonjak di tahun-tahun ke depan. Pelabuhan Merak-Bakauheni tidak akan mampu menyeberangkan ratusan ribu kenderaan.

Jembatan Selat Sunda Pembangunan jembatan merupakan pilihan jitu untuk mengurai kemacetan dan antrean panjang. Drama para pemudik yang antre berjam-jam setiap Lebaran tidak akan terjadi.

Pembangunan Jembatan Selat Sunda sudah didengungkan sejak era Soekarno. Ide pembangunan jembatan ini berawal dari gagasan Prof. Sedyatmo (alm), seorang guru besar di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1960 disebut dengan nama Tri Nusa Bima sakti yang berarti penghubung antara tiga pulau, yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Bali.

Pada 1965 Soekarno meminta ITB melakukan uji coba desain penghubung kedua pulau. Hasil dari percobaan tersebut berupa sebuah terowongan dan pada awal Juni 1989 baru rampung dan diserahkan kepada Soeharto selaku presiden RI pada saat itu.

Pada tahun 1997, Soeharto memerintahkan BJ Habibie selaku Menristek agar mengerjakan proyek yang diberi nama Tri Nusa Bima Sakti.

Pada tahun 1990-an Prof Wiratman Wangsadinata dan Dr Ir Jodi Firmansyah melakukan pengkajian uji coba desain dan menyimpulkan, penghubung dengan jembatan lebih layak bila dibandingkan dengan penghubung dengan terowongan di bawah dasar laut.

Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sempat mengemuka untuk membangun Jembatan Selat Sunda, tetapi hingga akhir masa jabatannya yang dua periode, kebijakan itu tak kunjung terbit.

Harapan, bahwa Jembatan Selat Sunda akan dibangun di era Jokowi-JK kandas ketika Presiden menyatakan tidak akan membangun jembatan tersebut selama kepemimpinannya.

Bagi mereka yang selalu hilir mudik, Jawa-Sumatera dan sebliknya, kehadiran jembatan sangat didambakan. Tidak hanya menghemat waktu dan tenaga, tetapi juga melancarkan aktivitas dan meredakan ketegangan.

Pemudik yang antre lama, kerap bersitegang dengan petugas di pelabuhan Merak atau Bakauheni, mengapa mereka tak kunjung terangkut kapal penyeberangan. Kondisi itu dapat dimaklumi karena letih akibat perjalanan jauh membuat pemudik acap naik tensi.

Di sisi lain, keberadaan jembatan bukan sekadar sarana menyeberangkan manusia, barang dan kenderaan saja, tetapi juga sebagai penyambung kabel data komunikasi (serat optik), kabel listrik, pipa gas dan minyak.

Jembatan juga bisa menghubungkan rangkaian kereta Jawa dan Sumatera sehingga transportasi massal bisa lebih efisien karena hanya dibutuhkan waktu setengah jam untuk menyeberangi Selat Sunda.

Lolongan peluit ferry berbunyi tiga kali. Empat jam penantian untuk bisa mengarungi Selat Sunda dan 2,5 jam hingga tiga jam lagi baru sampai di Bakauheni, Sumatera. Alhamdulillah, semoga mereka yang antri di Merak sana tabah. (Ant)

Sumber : https://www.wartaekonomi.co.id/read105351/indonesia-butuh-jembatan-selat-sunda