April 25, 2024

Artha Zone

Created & modified by m1ch3l

Ex Dir Fireworks Sebut Lelang Hotel Kuta Paradiso Sah Secara Hukum

Bali Tribune / Jimy Hermawan

6 October 2020 20:06

Denpasar – Ex Direktur Fireworks Ventures Limited, Jimy Hermawan mengatakan, eksekusi lelang hotel Kuta Paradiso yang dilakukan Selasa (6/10) oleh KPKNL Denpasar berdasarkan putusan inchract Alfort Capital yang dijalankan oleh PN Denpasar. Namun belakangan muncul suara sumbang permintaan dibatalkan oleh pihak yang mengaku pemegang hak tagih terhadap PT Geria Wijaya Prestige (GWP), pemilik hotel Kuta Paradiso.

“Bagi masyarakat umum mungkin ini hal yang biasa. Bagi yang mengikuti permasalahan ini sejak awal, hal ini tentu sangat menarik khususnya bagi para praktisi hukum dan yang bergelut di bidang perbankan,” ujarnya.

Jimy Hermawan membeberkan beberapa fakta yang perlu diketahui oleh masyarakat umum di Bali dan Indonesia pada umumnya. Pertama yang harus diketahui adalah Hotel Kuta Paradiso dibangun dengan menggunakan hutang USD 17 juta dari sindikasi 7 bank (PDFCI, Rama, Dharmala, ANK, Finconesia, Indovest, Multicor) pada tahun 1995. Krisis moneter 1998 membuat 3 bank, yakni PDFCI, Rama & Dharmala, masuk dalam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sehingga pada tahun 2004 (sebelum BPPN dibubarkan) hak tagih terhadap hotel Kuta Paradiso (PT GWP) dari 3 bank PDFCI, Rama & Dharmala dilelang. Pemenang lelang pada tahun 2004 adalah PT Millenium Atlantic Securities (PT MAS). Lalu pada tahun 2005 hak tagih kembali berpindah tangan kepada Fireworks Ventures Limited. Fireworks Ventures Limited diduga kuat adalah milik dari Harijanto Karjadi “Koktai” (PT GWP). “Jadi, buyback yang sebenarnya adalah sebuah pelanggaran/melanggar hukum. Jadi pemenang hak tagih/cessie terhadap hotel Kuta Paradiso (PT GWP) adalah 5 pihak (dari sebelumnya 7 pihak) yaitu Fireworks Ventures Limited (ex PFCI, Rama, Dharmala), KPKNL jakarta IV (ex Indovest), Alfort Capital (ex Finconesia), Gaston Invesment (ex ANK) & Tomy Winata (ex Multicor). Sejak tahun 2000 permasalahan pinjaman sindikasi ini sudah bersengketa sampai saat ini, hampir 20 tahun dan belum ada ujungnya atau kepastian hukum,” ujarnya.

Klaim Fireworks Ventures Limited sebagai satu-satunya pemegang piutang adalah tidak benar dan terlebih permintaan pembatalan lelang (yang sudah memiliki keputusan inchract dari 2 kreditur yaitu Alfort Capital & Gaston Investment) adalah langkah yang sangat aneh dan tidak masuk akal.

Selaku mantan direktur, klaim Fireworks Ventures Limited sebagai pemilik tunggal hak tagih oleh oknum Edy Nusantara adalah tidak benar, karena ada 4 pihak lain pemegang hak tagih dan proses hukum lain yaitu KPKNL Jakarta IV (ex Bank Indovest) yang juga adalah dibawah Kementerian Keuangan, Alfort Capital (ex Finconesia) yang sudah memiliki keputusan inchract (PK 2) di PN Jakarta Pusat, dimana eksekusi lelang yang akan dilaksanakan pada tanggal 6 oktober 2020 mendatang adalah menjalankan putusan tersebut. Gaston Investment (ex Bank ANK) yang juga sudah memiliki keputusan inchract (PK) di PN Jakarta Pusat. Dan saat ini juga sudah melakukan pelaporan polisi di Polda Bali terkait tindak pidana TPPU yang dilakukan oleh PT GWP yang tidak pernah melakukan pembayaran piutang sejak tahun 1995 serta laporan polisi di Polda Bali terkait pernyataan Edy Nusantara (Fireworks Ventures Limited) bahwa adalah pemegang tunggal hak tagih terhadap hotel Kuta Paradiso (PT GWP). Tomy Winata (ex Multicor) yang sedang berproses perdata di PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Utara serta proses pidana di Polda Bali yang sudah memiliki putusan di tingkat kasasi yang menghukum Harijanto Karjadi (PT GWP) bersalah dan hukum penjara 2 tahun di LP Kerobokan dan juga Hartono Karjadi yang mendekam di Rutan Polda Bali setelah buron hampir 2 tahun.

Laporan dari ex Direktur & pemegang saham utama Fireworks Ventures Limited di Polda Metro Jaya terkait proses pembelian hak tagih/cessie dari BPPN pada tahun 2004 oleh PT MAS adalah transaksi fiktif dimana sumber dana dan transaksinya adalah dari PT GWP sendiri yang merupakan pihak debitur. Akibatnya Negara (BPPN) dirugikan dengan transaksi ini, karena dilelang dengan harga yang jauh di bawah nilai hutang aslinya. Ada 4 laporan polisi di Bareskrim Mabes Polri baik oleh pihak Fireworks Ventures Limited atau PT GWP kepada parah pihak kreditur atau pemilik hak tagih yang semuanya sudah dihentikan. Edy Nusantara yang merupakan salah satu pemegang hak tagih (ex PDFCI, Rama & Dharmala) meminta menunda eksekusi lelang Hotel Kuta Paradiso adalah suatu perbuatan yang aneh dan tidak masuk akal. Lelang hotel Kuta Paradiso senilai Rp 650 M adalah sejatinya untuk pembayaran hutang yang bermasalah sejak 1995 (hampir 25 tahun) kepada para pihak kreditur. Lebih aneh dan membingungkan lagi adalah sejak tahun 2005 Fireworks Ventures Limited membeli/mengambil alih piutang/cessie dari PT MAS, sampai saat ini tidak ada tindakan nyata untuk melakukan penagihan kepada PT GWP (Hotel Kuta Paradiso) untuk mendapatkan haknya yaitu pembayaran hutang. Yang ada malah sebaliknya, malah melaporkan para pihak kreditur lainnya yang sejatinya harusnya sejalan bersama-sama menagih hutang kepada PT GWP dan selalu menghambat setiap upaya hukum atau tindakan penagihan terhadap hutang tersebut (tahun 2015, tahun 2019 melakukan protes dan demo terkait eksekusi lelang Hotel Kuta Paradiso di PN Denpasar). Potret ini semakin menguatkan indikasi dan tuduhan dari Jimmy Hermawan (ex Dirut Fireworks Ventures Limited) bahwa sebenarnya Fireworks Ventures Limited adalah milik dari Harijanto Karjadi yang tak lain adalah pemilik dari hotel Kuta Paradiso (PT GWP) itu sendiri. Jadi semua ini adalah sebagai upaya dan bentuk status quo agar hutang tersebut tidak pernah dapat ditagih/dibayarkan.

“Bagi yang kenal dan tahu tentang hotel Kuta Paradiso tentu semua tahu bahwa Edy Nusantara adalah staff atau anak buah dari Harijanto Karjadi,” katanya.

Ia berharap semoga kasus ini bisa membuat jelas publik dan aparat penegak hukum. Bagaimana white collar crime dilakukan oleh seorang Harijanto Karjadi dengan mengambil sindikasi 7 bank dan memanfaatkan momentum krisisis moneter 1998 dan kelemahan BPPN dan bermanuver sedemikian rupa hingga tidak perlu membayar hutang dan tetap terus memiliki hotel & menikmati hasil dari hotel tersebut sejak tahun 1995 tanpa ada gangguan yang berarti. Hal menarik lainnya adalah muncul nama Boyamin Saiman yang kadang berperan sebagai MAKI untuk menekan aparat hukum dan kadang berperan sebagai kuasa hukum bagi tersangka & terdakwa Harijanto Karjadi “Koktai”.
Kasus ini juga mirip kasus cessie bank Bali yang dihadapi Djoko Tjandra secara kebetulan.

“Apresiasi kami sebesar-besarnya terhadap aparat penegak hukum, mulai dari Polda Bali, Kajati dan PN Denpasar yang berani membongkar dan menangkap buronan kakap Harijanto Karjadi. Semoga tidak stop hanya ditangkap fisiknya saja, karena yang lebih penting dan sebenarnya pokok permasalahan awal adalah pembayaran hutang yang tidak pernah dibayar sejak tahun 1995. Semoga proses penuntasan permasalahan ini menjadi tonggak baru dan terobosan hukum Indonesia terhadap kasus-kasus cessie BPPN yang marak sebenarnya dan belum pernah ada yang tuntas sampai saat ini,” harapnya.

Kasus ini berawal krisis moneter tahun 1998. Semoga krisis Kesehatan yang mulai mengancam perekonomian Indonesia, pandemi Covid19 tahun 2020 ini bisa menjadi momentum dan tongak sejarah keadilan terhadap kepastian investasi dalam negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya di wilayah Bali yang selalu menjadi jendela dan atensi dunia.

Sumber : https://balitribune.co.id/content/ex-dir-fireworks-sebut-lelang-hotel-kuta-paradiso-sah-secara-hukum