02 November 2019 20:49
Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar saham tanah air mengawali perdagangan di bulan November dengan kurang mengenakan.
Pada perdagangan pertama di bulan November (1/11/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia membukukan koreksi sebesar 0,34% ke level 6.207,19, menandai koreksi selama dua hari beruntun.
Di sisa bulan November, pelaku pasar harus benar-benar berhati-hati. Pasalnya, ternyata secara historis November merupakan bulan yang kurang bersahabat bagi pasar saham tanah air.
Tim Riset CNBC Indonesia menghitung imbal hasil IHSG secara bulanan dalam periode sepuluh tahun terakhir (2009-2018). Hasilnya, dalam 10 bulan November terakhir, IHSG membukukan koreksi sebanyak tujuh kali. IHSG hanya menguat tiga kali secara bulanan pada 10 bulan November terakhir.
Koreksi terparah IHSG dalam 10 bulan November terakhir terjadi pada November 2013. Kala itu, IHSG ambruk hingga 5,64% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Oktober 2013.
Di periode November 2019, ada dua sentimen utama yang berpotensi membuat IHSG mencetak koreksi dan melengkapi catatan buruk di bulan November. Berikut adalah kedua sentimen yang dimaksud.
Hong Kong Sudah Resmi Resesi
Sentimen pertama yang berpotensi menekan kinerja IHSG pada bulan ini adalah perkembangan terkait laju perekonomian Hong Kong. Kini, Hong Kong sudah resmi memasuki periode resesi.
Pada hari Kamis (31/10/2019), Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019. Pada tiga bulan ketiga tahun ini, perekonomian Hong Kong diketahui membukukan kontraksi sebesar 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ).
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di sana selama nyaris lima bulan sukses menekan laju perekonomian dengan sangat signifikan, seiring dengan terkontraksinya sektor pariwisata dan ritel.
Untuk diketahui, aksi demonstrasi besar-besaran yang dalam beberapa waktu terakhir terjadi di Hong Kong pada awalnya dipicu oleh penolakan terhadap RUU ekstradisi.
Pada bulan lalu, Menteri Keuangan Hong Kong Paul Chan mengatakan bahwa jumlah turis yang mengunjungi Hong Kong pada periode Agustus 2019 ambruk nyaris 40% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Kontraksi pada jumlah turis yang mengunjungi Hong Kong di bulan Agustus jauh lebih dalam ketimbang penurunan pada periode Juli 2019 yang hanya sebesar 5%.
Sebelum pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi Hong Kong periode kuartal III-2019 dirilis, memang pemerintahnya sendiri sudah memproyeksikan bahwa Hong Kong akan resmi mengalami resesi.
Pada akhir pekan kemarin, Chan memperingatkan bahwa Hong Kong akan resmi mengalami resesi.
“Dampak (dari aksi demonstrasi) terhadap pereknomian kita signifikan,” tulis Chan dalam sebuah postingan di blog.
Dirinya kemudian menambahkan bahwa akan menjadi “sangat sulit” untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dibuat sebelum aksi demonstrasi meledak. Sebelum aksi demonstrasi meledak, pemerintah Hong Kong menargetkan perekonomian akan tumbuh sebesar 0,1% pada tahun 2019, seperti dilansir dari ABC.
Kemudian pada hari Selasa (29/10/2019), Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengatakan bahwa terdapat kemungkinan yang besar perekonomian Hong Kong akan tumbuh negatif untuk keseluruhan tahun 2019, seperti dilansir dari BBC. Lam juga mengatakan bahwa pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi Hong Kong periode kuartal III-2019 akan resmi menempatkan Hong Kong dalam periode resesi.
Melansir World Economic Outlook edisi April 2018 yang dipublikasikan oleh International Monetary Fund (IMF), Hong Kong merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar ke-35 di dunia. Walaupun tidak sebesar AS dan China yang kini tengah terlibat perang dagang, tentu posisi Hong Kong di tatanan perekonomian dunia tak bisa dianggap sepele.
Bagi Indonesia, Hong Kong merupakan mitra yang sangat penting, terutama untuk urusan investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) pada tahun 2018 adalah senilai US$ 29,3 miliar, di mana sebanyak US$ 2 miliar datang dari investor asal Hong Kong. Nilai tersebut setara dengan 6,8% dari total realisasi PMA pada tahun 2018.
Di tahun 2019, kontribusi Hong Kong terhadap realisasi PMA semakin signifikan. Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, BKPM mencatat bahwa realisasi PMA adalah senilai US$ 21,2 miliar, di mana sebanyak US$ 1,7 miliar atau setara dengan 8,2% disumbang oleh investor asal Hong Kong.
Pertumbuhan Ekonomi Bisa di Bawah 5%?
Sentimen kedua yang bisa menekan kinerja IHSG di sisa bulan November adalah rilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019. Data ini dijadwalkan untuk dirilis oleh BPS pada hari Selasa (5/10/2019).
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,19%. Pada kuartal II-2019, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan, sama persis dengan konsensus. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,06% YoY.
Angka pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini sedikit berada di atas capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal I-2018) yang sebesar 5,06%. Sementara untuk periode kuartal-II 2019, pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah jika dibandingkan capaian kuartal II-2018 yang mencapai 5,27%.
Jika hanya mencapai 5,01%, maka pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2019 akan jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Bahkan, ada kemungkinan bahwa pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019 akan merosot ke bawah level 5%.
Berbicara mengenai angka pertumbuhan ekonomi, pastilah kita berbicara mengenai konsumsi rumah tangga. Maklum, lebih dari 50% perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2018, konsumsi rumah tangga menyumbang sebesar 55,7% dari total perekonomian Indonesia.
Sejauh ini, ada indikasi bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang lemah. Kemarin, BPS mengumumkan bahwa pada Oktober 2019 terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) berada di level 3,13%.
“Hasil pantauan BPS di 82 kota terjadi inflasi 0,02%. Untuk inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2019 mencapai 2,22% dan year-on-year 3,13%,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi persnya, Jumat (1/11/2019).
Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.
Lantas, lagi-lagi inflasi berada di bawah ekspektasi. Untuk periode September 2019, BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27% secara bulanan, lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja.
Untuk diketahui, jika ditotal untuk periode kuartal III-2019, Indonesia membukukan inflasi sebesar 0,16% saja. Inflasi pada kuartal III-2019 berada jauh di bawah rata-rata inflasi kuartal III dalam empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencapai 0,62%.
Lebih lanjut, indikasi lemahnya daya beli masyarakat Indonesia juga datang dari kinerja penjualan barang-barang ritel yang lesu. Sudah sedari bulan Mei, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.
Setelah konsumsi rumah tangga, komponen lain yang memiliki kontribusi besar dalam pembentukan ekonomi Indonesia adalah Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau singkatnya biasa disebut investasi. Pada tahun 2018, investasi menyumbang sebesar 32,3% dari total perekonomian Indonesia.
Pada kuartal I-2019 dan kuartal II-2019, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 5,03% dan 5,01% secara tahunan. Pertumbuhan yang hanya di batas bawah 5% tersebut jauh merosot jika dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 7,95% dan 5,87% secara tahunan.
Pada kuartal III-2019, ada kemungkinan bahwa pertumbuhan pos investasi justru akan melorot ke bawah level 5%. Pasalnya, aktivitas sektor manufaktur Indonesia diketahui selalu membukukan kontraksi pada bulan Juli, Agustus, dan September.
Melansir data yang dipublikasikan oleh Markit, Manufacturing PMI Indonesia pada bulan Juli, Agustus, dan September berada masing-masing di level 49,6, 49, dan 49,1. Memasuki kuartal IV-2019, Manufacturing PMI Indonesia masih saja berada di bawah level 50.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Dengan aktivitas manufaktur yang terus terkontraksi, dunia usaha akan cenderung menahan investasinya sehingga sangat mungkin pertumbuhan pos investasi akan melorot ke bawah 5%.
Dengan mencermati sejarah pergerakan IHSG di bulan November yang mengecewakan, ditambah adanya kehadiran dua sentimen yang berpotensi menekan kinerja IHSG, mungkin ada baiknya jika pelaku pasar saham menahan diri dari melakukan aksi beli di sisa bulan ini.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20191102201639-17-112224/dear-investor-sebaiknya-jangan-beli-saham-di-bulan-november/3
More Stories
SCBD Trending Topic Berisi Kicauan Gaji Mbak-Mbak SCBD
BEI Buka Kembali Perdagangan Saham MSIN
BEI: Pasar Modal Pulih Hampir Menyamai Sebelum Pandemi