November 24, 2024

Artha Zone

Created & modified by m1ch3l

Status Lahan di Batam Hambat Investasi

batampos.co.id

Jumat, 7 Agustus 2015 – 12:28 WIB

batampos.co.id – Sejak diresmikan pada 2009 silam, implementasi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas (FTZ) di Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) belum berjalan optimal. Persoalan lahan dituding menjadi masalah utama yang mengganjal pertumbuhan investasi di kawasan FTZ BBK ini.

Terlebih, baru-baru ini Kementerian Perhutanan (Kemenhut) yang menetapkan sebagian besar lahan di Batam berstatus hutan lindung. Padahal sebagian besar kawasan tersebut telah berkembang sebagai kawasan industri, pemukiman, dan kawaasan yang akan dibangun menjadi pelabuhan kontainer, seperti lahan di Pulau Tanjung Sauh.

“Masalah ini diperkeruh dengan tumpang tindih penguasaan lahan,” kata Wakil Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Jon Arizal, saat diskusi dengan Kamar Dagang Industri (Kadin) Kepri di Hotel Allium, Jodoh, Batam, kemarin (6/8).

Kata Jon, masalah status lahan ini memang kerap mengemuka dalam berbagai forum dan diskusi dengan pengusaha. Selain masalah lahan, pegusaha sering mengeluhkan sejumlah persoalan klasik yang tak kunjung selesai seperti masalah regulasi, perizianan, dualisme kepemimpinan, dan masalah infrastruktur.

“Ada lima hal penting yang kami sadari harus diperbaiki untuk membuat industri nyaman, yakni perbaikan di bidang infrastruktur, regulasi, insentif, sumber daya manusia, dan keamanan,” ujar Jon.

Saat ini menurut Jon, ada dua faktor yang menghambat pertumbuhan industri di Batam yakni faktor internal yang datang dari pengelola FTZ dan faktor eksternal dari luar pengelola FTZ.

Faktor internal antara lain kompleksitas kelembagaan BP Batam dan tata kelola yang belum cukup baik. Sedangkan faktor eksternal antara lain tumpang tindihnya pengelola FTZ Batam antara BP Batam, Pemko Batam, dan instansi vertikal pemerintah pusat di BP Batam.

“Termasuk banyaknya demonstrasi buruh yang berjalan anarkis dalam menuntut perbaikan kesejahteraan dan kondisi kerja,” katanya.

Dalam diskusi ini, ada sejumlah alternatif solusi yang ditawarkan untuk perbaikan pengelolaan FTZ antara lain review regulasi FTZ dan diperlukan simplifikasi untuk kepastian hukum investor.

Kemudian, koordinasi antarinstansi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta komunikasi dengan pihak pengusaha yang lebih baik. Selanjutnya, moratorium pemberian izin alokasi lahan baru karena banyak lahan yang dikuasai namun belum ada komitmen untuk melakukan investasi.

Lalu, melakukan pembatasan (enclave) daerah pemukiman dan enclave daerah industri. Untuk enclave daerah permukiman akan menjadi wewenang Pemko Batam, sedangkan enclave daerah industri akan menjadi wewenang BP Batam. Ketentuan FTZ hanya berlaku pada enclave daerah industri. Solusi ini memerlukan perubahan PP 46/2007 jo PP 5/2011 yang mengatur batas wilayah FTZ Batam.

“Hal lain yang diperlukan adalah menata kembali tata kelola Batam dan memprioritaskan alokasi sumber daya dan infrastruktur bagi industri,” tambah Jon.

Jon mengatakan, permasalahan ini akan dibawa sampai ke Kadin pusat agar bisa ditemui titik cerah agar pertumbuhan investasi di Batam meningkat pesat.

Wakil Ketua Umum Bidang Hukum dan Mediasi Kadin Kepri, Ampuan Situmeang, mengatakan persoalan-persoalan yang ada merupakan masalah klasik yang tak kunjung usai. Untuk itu dia meminta Presiden Joko widodo (Jokowi) turun langsung mengatasi persoalan ini.

“Permasalahan ini sudah ada sejak 10 tahun lalu. Tapi kalau yang menangani hanya para menteri, tidak akan pernah selesai,” katanya.

Sementara Ketua Umum Kadin Kepri, Akhmad Ma’ruf Maulana, mengatakan perlu dilakukan penyempurnaan berbagai regulasi yang menjadi dasar pelaksanaan FTZ di BBK. Antara lain penguatan peran dan fungsi dewan kawasan BBK yang pelaksanaannya harus secara jelas dan tegas diberikan kewenangan sebagaimana pelaksanaan dewan kawasan di Sabang dengan PP 82 tahun 2010.

Kemudian, Ma’ruf menilai perlu mengubah komposisi personalia dewan kawasan. Dimana ketuanya dimandatorikan kepada Menteri Perdagangan dan Industri.

“Pemerintah juga harus menyempurnakan tata ruang BBK sesuai Keppres 87 tahun 2011, karena pada kenyataannya BBK belum memiliki tata ruang wilayah secara pasti,” tambah Ma’ruf.

Selain itu, perlu juga dilakukan bentuk FTZ berbeda-beda untuk kawasan BBK. Karena pada saat ini, ada yang bersifat enclave dan ada yang bersifat hole island, namun pola kerjasamanya  sama dengan pola enclave dan aturan kepabeanan umum, sehingga tidak bisa memberikan kepastian dalam sistem ekspor dan impor.

“Untuk itu perlu dilakukan seluruh wilayah BBK bentuk FTZ whole island atau menyeluruh,” saran Ma’ruf.

Saat ini, kata Ma’ruf lagi BP kawasan BBK belum mampu bekerja secara optimal dan berharap bisa mengikutsertakan Kadin sebagai rekanan.

Posisi Kepri saat ini sangat tepat disebut sebagai pemilik usaha galangan kapal terbesar di Indonesia, dan untuk itu sangat diharapkan pemerintah pusat dapat menjadikan dan menetapkan Kepri sebagai bagian dari pusat pembangunan kapal yang sangat memerlukan tol laut.

“Jadi, kami sangat berharap pak Jokowi dapat mewujudkan Kepri sebagai poros maritim karena kondisinya yang terdiri dari 99 persen perairan dan 4 persen daratan,” pungkas Ma’ruf.

Sebelumnya, Wakil Ketua Kadin Kepri Bidang Perdagangan dan Jasa, Amat Tantoso, juga pernah menyampaikan pentingnya kejelasan status lahan di kawasan FTZ BBK. Dia juga menyarankan pemerintah pusat segera mencabut status quo lahan di Rempang dan Galang (Relang). Pasalnya lahan merupakan salah satu modal penting untuk menambah investasi asing karena lahan yang ada di kawasan mainland pulau Batam telah habis dialokasikan.

Hal senada juga disampaikan Wali Kota Batam, Ahmad Dahlan. Menurut dia, jika status quo lahan di Relang dicabut, dapat dipastikan investasi akan tumbuh pesat. Menurut dia, kawasan Relang merupakan kawasan penyangga yang dapat dibuka untuk kawasan industri Batam.

“Coba kalau Rempang dan Galang itu dibuka, itu luar biasa (permintaan investasi),” kata Dahlan, belum lama ini. (rna/spt/bpos).

sumber: http://batampos.co.id/07-08-2015/status-lahan-di-batam-hambat-investasi/