November 25, 2024

Artha Zone

Created & modified by m1ch3l

Presiden Didesak Batalkan Perpres, Reklamasi Teluk Benoa Jadi Isu Pilkada

medium-179068365-teluk_benoa

m.baranews.co

Senin, 04 Januari 2016 – 12:00 WIB

JAKARTA, Baranews.co – Presiden Joko Widodo didesak membatalkan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 yang jadi dasar aktivitas reklamasi Teluk Benoa. Hari Minggu (3/1), massa dari berbagai kelompok menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa selama dua jam. Isu reklamasi menjadi topik pada pemilihan kepala daerah, Desember 2015.

 

“Kuncinya (dari persoalan ini) ada pada perpres tersebut. Padahal, secara politik dukungan terhadap penolakan cukup besar dan penolakan dari masyarakat besar. Persoalan ini tidak bisa putus karena ada perpres. Pencabutan memang hak Presiden, tapi itu bisa dicabut demi terciptanya situasi kondusif,” ujar Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan saat dihubungi di Jakarta, kemarin. Penolakan reklamasi Teluk Benoa sudah muncul sejak direncanakan tahun 2013.

Demonstrasi dan pemasangan baliho tolak reklamasi Teluk Benoa kemarin, kata Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) Wayan Gendo Suardana yang dihubungi Kompas, “Lembaga adat, pemuda adat, seniman musisi dengan ratusan band, teater, pelukis, street art, kesenian tradisional, lawak Bali dan penari, banyak yang bergabung.” ForBali juga sudah ada di Jakarta, Solo, Yogya, Lampung, Bandung, Jerman, dan Amerika.

“Kami upayakan dukungan publik lebih besar dan Presiden segera mencabut perpres ini. Setidaknya, tahun ini bisa dicabut. Perpres keluar saat last minutepemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,” ujar Abetnego.

Perpres No 51/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan itu ditandatangani 30 Mei 2014 dan berlaku efektif 3 Juni 2014. “Artinya, kebijakan itu seakan menyerahkan (konsekuensinya) kepada pemerintah berikutnya,” kata Abetnego.

Sementara anggota DPD RI yang juga mantan Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika, yang bergabung dengan massa aksi, dalam siaran pers ForBali, meminta Pemprov Bali tidak “melempar bola” karena dasarnya ada pada otonomi daerah.

“Setuju atau tidak, Pemprov Bali jangan lempar bola. Kita punya otonomi khusus. Pemprov bilang, urusan reklamasi Teluk Benoa sudah diserahkan kepada pemerintah pusat. Itu tak masuk akal. Kalau pemprov menolak, jelas reklamasi Teluk Benoa tak akan terjadi,” kata Pasek.

Sikap calon kepala daerah

Mengukur penolakan masyarakat pada reklamasi Teluk Benoa, kata Gendo Suardana, bisa dilihat dari debat para calon kepala daerah, Desember. Dua pasangan calon bupati Badung dan tiga pasangan calon wali kota Denpasar menolak.

“Isu reklamasi ini diangkat dalam debat publik saat pilkada. Ini menunjukkan isu ini penting sehingga jadi topik bahasan. Semua kandidat kepala daerah Kabupaten Badung dan wali kota Denpasar menolak reklamasi ini,” kata Gendo Suardana. “Termasuk kandidat yang dulu mendukung reklamasi sekarang berbalik menolak,” katanya.

Ia menambahkan, dalam sejarah gerakan Bali, di luar isu agama dan suku, gerakan ini paling besar dan masif serta paling lama, sudah memasuki tahun ketiga. Isu-isu investasi biasanya hanya direspons masyarakat setempat dan perkotaan.

Respons pertama dari Desa Adat dengan surat Desa Adat Tanjung Benoa. Saat ini, demo penolakan diikuti warga dari Desa Adat Tanjung Benoa, Kelan, Kepaon, dan Pemogan. Juga ada komunitas-komunitas karang teruna adat (seka teruna teruni) dan kepala lingkungan.

Proyek itu bermula saat Gubernur Bali dijabat Made Mangku Pastika. Gendo Suardana mengakui, beberapa petinggi desa masih “abu-abu” sikapnya.

Dampak lingkungan

Proyek reklamasi Teluk Benoa, menurut Abetnego, tak sesuai ketetapan dalam konteks perlindungan lingkungan. Reklamasi bukan jawaban tepat untuk persoalan mangrove yang rusak akibat sampah perkotaan. Selain itu, proyek berdasarkan peraturan presiden, harus didahului Kajian Lingkungan Hidup Strategis karena tak berdasar tata ruang daerah sebelumnya.

“Kalau alasannya ada masalah lingkungan karena pembuangan sampah, seharusnya yang dilakukan penataan dan rehabilitasi, bukan reklamasi ini,” ujar Abetnego. Problem lingkungan juga muncul akibat dibangunnya jalan tol ke arah Bandara Ngurah Rai. “Itu mengubah arus laut dan mengganggu pasang surut.”

Dalam paparan Artha Graha Network (membawahi pemegang proyek reklamasi) di Pavilion Indonesia saat Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Desember, diungkapkan upaya penyelamatan mangrove yang terancam abrasi, sedimentasi berkelanjutan, sampah, serta perambahan. Untuk menyelamatkan ekosistem mangrove dibentuk Bali Mangrove Care Forum.

“Seperti kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setiap pembangunan yang berdasar kebijakan harus ada KLHS nya. Namun, mereka tak ada dan langsung ke analisis dampak lingkungan yang levelnya adalah level proyek, bukan kawasan,” kata Abetnego.

Dampak lingkungan juga dialami daerah lain sumber material: pasirnya dikeruk untuk menguruk Teluk Benoa. “Mereka ambil pasir dari (Kabupaten) Karangasem dan wilayah Lombok Timur. Angka dan lokasinya berubah-ubah,” ujar Gendo. (ISW)/KOMPAS cetak

sumber: http://m.baranews.co/web/read/56575/presiden.didesak.batalkan.perpres.reklamasi.teluk.benoa.jadi.isu.pilkada#.VozjJBV95hE