Kamis, 30 November 2017 – 17:42 WIB
RIFKI SETIAWAN-M.NUR, Batam
Pria itu menatap peta Batam-Rempang-Galang (Barelang) di lembaran akhir hasil kajian tentang Transformasi Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Jemarinya lalu menunjuk kawasan Rempang dan Galang atau biasa disingkat Relang.
“Ini sangat cocok semua dijadikan KEK. Di sini lebih mudah karena masih lahan kosong,” ujar pria tadi sambil menunjuk ke peta Rempang-Galang, saat ditemui Kamis (9/11/2017) di lantai delapan Gedung BP Batam di Batam Centre.
Pria itu adalah Lukita Dinarsya Tuwo, kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam yang baru menggantikan Hatanto Reksodipoetro. Pria yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Menko Perekomonian itu kemudian menunjuk peta Batam. Ia melihat beberapa wilayah yang akan dialihkan statusnya dari FTZ menjadi KEK.
“Di Kota Batam nanti hanya ada beberapa kawasan yang akan masuk KEK, jadi bentuknya enclave-enclave. Selebihnya tetap berstatus FTZ,” ungkapnya.
Pandangannya lalu kembali tertuju ke peta Rempang-Galang. Di peta itu juga tertera Batam-Rempang-Galang hingga Galang Baru yang telah lama terhubung enam jembatan. Jembatan tersebut dibangun era BJ Habibie menjabat Kepala BP Batam. Habibie saat itu berfikir jauh bahwa Batam kelak akan padat sehingga pembangunan bisa berlanjut hingga ke Rempang-Galang.
“Ini potensial sekali, bisa jadi pusat pertumbuhan ekonomi baru, selain Kota Batam,” ujarnya.
Rempang-Galang memang jadi primadona. Pulau berjarak 2,5 kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam itu memiliki luas 165,83 kilo meter persegi atau 27 persen luas Singapura yang sudah terhubung jembatan dengan Batam. Sedangkan Galang terletak di sebelah tenggara Pulau Rempang dengan luas sekitar 80 kilometer persegi atau 13 persen luas Singapura.
Sejumlah perusahaan sudah menyatakan kesiapannya berinvestasi di sana. Antara lain PT Tanjung Jelita dari Malaysia. Perusahaan ini hendak menanam modal 873 juta dolar Amerika.
Kemudian ada Global Utility Development dari Jepang. Lalu Al Ain Industries dari Arab Saudi yang bergerak di bidang penyulingan minyak. Al Ain siap menggelontorkan 1 miliar dolar Amerika. Ada juga Aquabis dari Australia yang siap dengan uang 15 juta dolar Amerika untuk usaha ikan tenggiri.
Tak hanya itu, dari dalam negeri ada PT Bukaka Barelang Energy Indonesia yang berniat investasi 500 juta dolar Amerika. Lalu ada Batam Marikulture Estate berniat investasi Rp 300 miliar. Kemudian PT Batam Livestock Center Konsorsium dengan Rp 150 miliar siap membangun peternakan kambing dan lainnya.
Paling fenomenal adalah rencana PT Makmur Elok Graha (MEG), Grup Artha Graha. Mereka berencana membuat kawasan wisata ekslusif dengan modal 15 miliar dolar Amerika. Rencana investasi itu selain melibatkan duit miliaran dolar, juga melibatkan Tomy Winata, pengusaha terkenal. Bahkan Pemko Batam dan pihak Tomy sudah pernah meneken nota kesepahaman (MoU) pada 26 Agustus 2004.
Dari maket pengembangan yang ditunjukkan tim Tomy saat itu, Rempang-Galang akan disulap menjadi kota baru yang modern dengan beragam fasilitas. Ada zona pariwisata terpadu eksklusif, ada zona olahraga, zona industri, zona perkantoran dan perbankan, zona industri kreatif, dan lainnya.
Bahkan, Tomy juga berencana membangun sirkuit F1 dan MotoGP dengan lintasan sepanjang tepi laut Rempang-Galang. Namun rencana itu tak terwujud karena status quo Rempang-Galang tak kunjung dicabut.
Namun Lukita meyakinkan persoalan status quo bisa dibicarakan di pusat dan bukan persoalan utama. Justeru persoalan anggaran yang bisa jadi perhatian serius. Ia belum bisa memastikan pemerintah pusat akan menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk membangun infrastruktur di Rempang dan Galang jika jadi KEK.
Tapi, salah satu tugas utamanya dari Menko Perekonomian Darmin Nasution adalah mewujudkan transformasi FTZ ke KEK paling lambat dalam dua tahun ke depan. Baik beberapa zona di Kota Batam maupun di hinterland khususnya Rempang dan Galang.
Jika pusat tak menggelontorkan uang dalam jumlah besar ke zona KEK di Kota Batam hingga ke Rempang-Galang, Lukita tak patah arang. Masih banyak cara lain yang bisa ditempuh. Salah satunya, membentuk konsorsium dengan melibatkan BP Batam, Pemko Batam, Pemprov Kepri, dan BUMN. Bisa juga menggaet Investor.
“Seperti KEK di Lhokseumawe, Aceh, melibatkan sejumlah BUMN,” ujar Lukita.
BUMN bisa mengambil peran sesuai bidangnya. Misalnya, PT Perusahaan Gas Negara (persero) Tbk bisa mengambil peran dalam pembangunan infrastruktur jaringan gas alam ke seluruh zona KEK. Baik di Kota Batam maupun Rempang-Galang.
Dengan begitu, PGN bisa memasok kebutuhan gas alam ke seluruh zona, baik untuk kebutuhan pembangkit lisrik di kawasan itu, maupun untuk bahan baku industri yang ada di dalamnya, terutama industri petrokimia.
Diakui Lukita, infrastruktur memang sangat penting untuk menarik investor dalam dan luar negeri. Sebagus apapun lokasi suatu kawasan, sehebat apapun dan sebanyak apapun fasilitas serta insentif yang diberikan, tidak akan dilirik oleh investor jika minim infrastruktur.
Terutama infrastruktur yang bersifat dasar seperti listrik dan gas alam. Apalagi ke depan, BP Batam akan menyediakan zona-zona KEK untuk industri berteknologi tinggi dan berskala besar.
Sekadar diketahui, Batam kini memiliki dua status. Pertama sebagai kawasan FTZ di seluruh Kota Batam yang telah ada sejak tahun 2000 hingga saat ini.
Status FTZ Batam diawali dengan terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2000, lalu Undang-Undang Nomor 36/2000 yang kemudian diubah beberapa kali melalui Perpu yang dan diundangkan menjadi UU No 44 tahun 2007.
Kedua KEK di beberapa wilayah di Batam dan rencananya seluruh wilayah Rempang-Galang yang mulai digarap tahun ini. Status KEK itu dipayungi UU Nomor 39 tahun 2009.
Status KEK diberikan ke Batam dan Rempang-Galang karena adanya dinamika di pemerintahan dan ekonomi dunia yang terus bergerak dan menuntut perubahan-perubahan di berbagai aspek. Mulai dari perizinan, hingga regulasi berupa insentif bagi setiap investor yang akan menanamkan modalnya di suatu kawasan di suatu negara.
Hal ini ditandai munculnya perjanjian-perjanjian kerja sama perdagangan internasional. Baik bersifat bilateral maupun regional. Contohnya AFTA, MEA, dan berbagai perjanjian kerja sama perdagangan bilateral dan regional lainnya.
Perjanjian-perjanjian perdagangan internasional itu menuntut sejumlah fasilitas-fasilitas yang bisa memperlancar arus barang, jasa, tenaga kerja, teknologi, dan lainnya.
“Kelebihan-kelebihan yang tertuang dalam UU FTZ tidak signifikan lagi untuk memenuhi berbagai hal dalam perjanjian-perjanjian kerja sama perdagangan internasional itu, makanya butuh KEK,” kata Lukita.
Sejatinya, seluruh Kota Batam hingga ke Rempang-Galang akan dialihkan statusnya menjadi KEK. Namun Kota Batam bukan lagi wilayah kosong, sehingga tidak memungkinkan lagi semua dialihkan menjadi KEK. Pemerintah pusat akhirnya mengambil kebijakan, khusus Kota Batam hanya beberapa zona saja yang menjadi KEK, selebihnya tetap FTZ.
Nantinya akan ada zona KEK Industri, KEK Pariwisata, KEK Industri Kreatif, zona marinaerotropolis, dan masih banyak lagi.
Perbedaan FTZ dan KEK ini terletak di fasilitas dan insentif yang diberikan ke para investor. Fasilitas di KEK jauh lebih banyak ketimbang di FTZ. Baik itu soal pembebasan pajak, maupun kemudahan perizinan serta kebijakan fiskal lainnya.
“Kami optimis, banyaknya fasilitas, insentif, dan kemudahan yang diberikan di KEK akan semakin banyak investor berinvestasi di Batam,” ujar Lukita.
Wakil Menteri PPN/Wakil Kepala Bappenas Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II Era Presiden Susilo Bambang Yuhoyono pada medio 2010-2014 ini meyakinkan, enam bulan ke depan (pertengahan 2018) KEK Batam (termasuk Rempang-Galang) sudah ada gambaran yang jelas.
“Kami diberi waktu dua tahun mewujudkannya. Kami mengajak berbagai pihak untuk membantu mewujudkannya,” kata Lukita.
***
PGN sendiri menyambut baik duo status Batam itu. Termasuk rencana menjadikan Rempang-Galang sebagai KEK keseluruhan.
“Kalau menarik pipa untuk mengalirkan gas alam ke semua zona KEK termasuk ke Rempang-Galang itu, PGN sangat siap. PGN juga sudah lama menantikan hadirnya industri yang memang membutuhkan gas alam dalam jumlah besar,” ujar Sales Area Head PGN Batam, Amin Hidayat, Senin (27/11/2017).
Amin meyakinkan, berapapun gas untuk industri dan sektor bisnis butuhkan, baik di zona KEK akan datang maupun di FTZ saat ini, PGN selalu siap memasoknya. Apalagi proyek transmisi gas bumi bawah laut dari Natuna, West Natuna Transmission System (WNTS) di Subsea Tie In-Batam (SSTU-B) yang akan mendarat di Pulau Pemping, Belakangpadang, Batam, akan segera rampung.
“Pasokan gas dari Natuna ke Batam bisa ditingkakan hingga 100 BBTUD (British Thermal Unit per Day). Pasokan gas alam ke Batam akan semakin andal,” ujar Amin.
Saat ini pasokan gas ke Batam baru berkisat 50 hingga 70 BBTUD yang dipasok dari sumur di Grissik, Sumatera Selatan.
Direktur Infrastruktur dan Tekonologi PGN, Dilo Seno Widagdo, dalam keterangan resminya Rabu (21/6/2017) lalu menegaskan komitmen PGN menjadikan Batam sebagai kota gas.
Dino melihat Batam sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas yang beberapa wilayahnya akan bertransformasi menjadi KEK, menjadikan Batam lebih kompetitif. Batam akan tetap menjadi pilihan utama investor asing maupun investor dalam negeri untuk berinvestasi.
“Ini salah satu wujud kotribusi PGN dalam mendukung program pemerintah untuk ketahanan dan kemandirian energi dalam negeri,” ujar Dino.
Dari sisi harga, gas alam untuk kebutuhan industri di Batam masih jauh lebih murah dari dua negara tetangga. Di Singapura, harga gas industri sekitar 11 dolar AS per MMBTU. Sedangkan di Malaysia sudah ada yang mencapai 13 dolar AS per MMBTU. Sementara Batam masih menggunakan harga rata-rata nasional 9-10 dolar AS per MMBTU.
Ketersediaan gas alam di Batam diyakini Dino akan semakin membuat ekonomi Batam bergairah. Bahkan bukan hanya Batam, tapi juga Bintan, Karimun, dan kawasan sekitarnya di Kepri, sebab PGN bisa memasok gas alam dalam bentuk gas alam terkompresi (CNG) dalam tabung.
“Batam dan sekitarnya bisa menjadi surga bagi investor berinvestasi,” katanya.
Kontribusi PGN untuk memajukan Batam dari sektor penyediaan energi gas alam sudah dilakukan sejak 13 tahun lalu, tepatnya sejak September 2004. Batam yang kala itu sudah menjadi tujuan investasi masih menghadapi kendalan besar dalam hal ketersediaan energi listrik. BP Batam yang dulu bernama Badan Otorita Batam yang awalnya mengelola listrik kesulitan memenuhi kebutuhan listrik industri yang ada di Batam.
BP Batam akhirnya menyerahkan pengelolaan listrik ke PT Pelayanan Listrik Nasional Batam yang merupakan anak usaha PT PLN (persero). Di awal-awal mengelola listrik di Batam, PT PLN Batam juga kesulitan memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat seiring mengalirnya investasi di Batam. Apalagi, mesin-mesin pembangkit listrik warisan BP Batam semua berbahan bakar diesel (PLTD) yang harga bahan bakarnya terus meningkat.
Sejumlah investor di bidang kelistrikan (Independent Power Produce/IPP) akhirnya digandeng PLN Batam. Listrik yang dihasilkan pembangkit listrik berbahan bakar gas alam milik IPP dibeli PLN Batam lalu didistribusikan ke pelanggan industri, bisnis, dan semua lapisan masyarakat.
Manager Public Relation Bright PLN Batam, Bakti Panggabean menyebutkan beberapa mitra PLN Batam yang pembangkitnya menggunakan bahan bakar gas alam yang memasok listrik ke PLN antara lain; PT Mitra Energi Batam yang menghasilkan daya sebesar 82,1 Megawatt sejak 2005, PT Dalle Energi Batam yang menghasilkan daya sebesar 82,1 Megawatt + 19 Megawatt sejak 2006.
Kemudian ada PT Indo Matra Power Batam yang memasok daya sebesar 17,4 Megawatt sejak 2006, dan PT Energi Listrik Batam yang menggunakan daya sebesar 70 Megawatt sejak 2016.
Bakti mengatakan, efisiensi pemakaian gas tergantung dari harga kontrak gas untuk masing-masing pembangkit serta nilai konsumsi gas untuk masing-masing pembangkit.
“Pembangkit yang sudah mengkombinasikan gas dan uap memiliki efisiensi yang paling baik,” ungkapnya.
Tak hanya pembangkit milik mitra, PLN Batam juga membangun power plant sendiri berbahan bakar gas sejak 2012, berkapasitas 3 x 8,1 Megawatt di Panaran. Bahkan sejak 2017, PLN juga telah membangun PLTG lainnya dengan kapasitas 2 x 40 Megawatt. Keduanya ada di Panaran, Tanjunguncang. Namun gasnya dipasok anak usaha PLN Batam dari pusat pertemuan gas di Pulau Pemping ke Panaran.
Tak hanya pembangkit listrik mitra PLN Batam yang menggunakan gas alam yang dipasok oleh PGN, sejumlah kawasan industri di Batam yang memiliki pembangkit listrik sendiri sudah lama beralih ke gas alam yang juga dipasok PGN.
Batamindo Industrial Park contohnya. Kawasan industri pertama dan terbesar di Batam itu sudah memilih gas untuk pembangkit listrik di kawasan itu sejak November 2005.
“Iya, alasnya gas alam lebih ekonomis, efisien, dan juga ramah lingkungan,” ujar Tjaw Hoeing, manager General Affair PT Batamindo Investment Cakrawala, Rabu (15/11/2017) di Wisma Batamindo.
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri menjelaskan, awalnya Batamindo menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Namun butuh biaya besar untuk mencukupi kebutuhan listrik di kawasan tersebut karena harga bahan bakar solar yang terus meningkat. “Akhirnya beralih ke gas yang dipasok PGN,” katanya.
Pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) milik Batamindo memiliki kapasitas awal 7 Megawatt. Sejak menggunakan gas, kapasitasnya ditingkatkan menjadi 125 Megawatt. Kapasitas yang cukup besar ini membuat PLN Batam pernah membeli listrik dari Batamindo saat mereka kekurangan daya, ketika ada perawatan di sumur gas Grissik, Sumatera Selatan beberapa tahun lalu.
“Saat ini, listrik yang kami hasilkan hanya dikonsumsi di dalam kawasan industri Batamindo saja,” papar pria yang akrab disapa Ayung ini.
Ia mengaku Batamindo masih setia pada PGN untuk memasok gas ke kawasan industri yang ia kelola. Dalam sehari, power plant milik Batamindo mengkonsumsi gas rata-rata 11,800 MMBTU/hari.
“Kontrak di Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dengan PGN Batam selama lima tahun dan untuk harga sudah tertulis dalam kontrak tersebut. PGN sangat bagus dalam melayani” ungkapnya.
Selama menjadi pelanggan PGN Batam, Ayung mengatakan puas, meski aliran gas PGN pernah berhenti dua hingga tiga jam beberapa waktu lalu, akibat perbaikan pipa di sekitar Panaran.
“Ada juga penjatahan gas karena adanya proses pemeliharaan dan perbaikan namun aliran tidak berhenti total. Itu terjadi awal November 2017,” ungkapnya.
Sales Area Head PGN Batam Amin Hidayat menyebutkan, tak hanya mitra PLN Batam dan Batamindo yang menjadi pelanggan PGN. Hampir semua kawasan industri di Batam sudah dialiri gas alam. Antara lain, Kawasan Industri dan pusat bisnis Panbil, Kawasan Industri Tunas, Latrade Industrial Park, Kawasan Industri Kabil, Kawasan Industri Executive, Kawasan Industri Cammo, Kawasan Industri Taiwan, Kawasan Industri Bintang, dan masih banyak lagi.
Gas yang dipasok ke kawasan industri itu tidak hanya digunakan untuk pembangkit listrik. Banyak juga tenant di kawasan industri itu yang menggunakan gas alam untuk proses produksi. Baik sebagai bahan bakar, pemanas, maupun bahan baku produk.
Sejumlah pelanggan komersial juga telah dilayani PGN. Mulai dari mall, hotel, restoran, hingga pelanggan rumah tangga. “Pelanggan komersial ada 53, industri 43, dan rumah tangga lebih dari 3.497,” sebut Amin.
Industri umumnya pelanggan dengan tingkat konsumsi gas yang cukup besar. PGN berharap di Batam nanti muncul industri seperti PT Pupuk Sriwijaya di Palembang yang konsumsi gasnya sangat besar. Selain untuk pembangkit listrik, gas juga jadi bahan baku utama pembuatan pupuk.
“Kita menanti industri petrochemical dan sejenisnya,” kata Amin.
Harapan PGN itu diamini Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kepri, Achmad Makruf Maulana. Namun ia melihat yang paling mendesak adalah penguatan pembangkit listrik tenaga gas. Sebab, dari segi ketersediaan listrik untuk kebutuhan industri di Batam belum maksimal. Padahal kegiatan ekonomi terus berputar.
“Pengusaha sangat menyukai gas sebagai tenaga pembangkit listrik. Gas dinilai sangat efisien dan ramah lingkungan,” ujar Makruf, Rabu (29/11/2017).
Pemilik Kawasan Industri Wiraraja Industrial Park Kabil Batam ini juga mengatakan persaingan industri dengan negara tetangga dalam mendatangkan investor sangat ketat. Maka dukungan pembangkit listrik yang bagus jelas dibutuhkan untuk menarik minat investor agar menanamkan modalnya di Batam, selain status FTZ dan KEK.
“Kompetitor sudah buat pembangkit sendiri. Maka saya juga mau buat pembangkit listrik tenaga gas untuk kebutuhan Wiraraja,” jelasnya.
Makruf mengakui gas lebih ekonomis, efisien dan ramah lingkungan. Juga tidak membutuhkan banyak tempat untuk membangun pembangkitnya.
“Saya berencana membangun pembangkit berkapasitas 2 Megawatt untuk tahap awal. Sekarang lagi diurus perizinannya. Nanti akan dikembangkan sesuai kebutuhan industri Wiraraja yang menempati lahan seluas 55 hektare,” jelasnya.
Namun Makruf menyayangkan jaringan pipa PGN yang belum mencapai Wiraraja. Ia berharap PGN membangun jaringan pipa gasnya ke seluruh kawasan industri di Batam, termasuk ke Wiraraja.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Batam, Jadi Rajagukguk juga mendorong masuknya investor yang seperti yang diinginkan PGN. Apalagi infrastruktur gas alam di Batam sudah hampir merata ke semua wilayah.
“Persyaratan mutlak untuk menggairahkan investasi adalah dengan membangun infrastruktur. Terutama pembangkit listrik. Gas alam adalah sumber energi yang tepat karena efisien dan ramah lingkungan,” katanya, Rabu (29/11/2017).
Ia meyakini Batam akan makin baik ke depannya ditandai dengan masuknya investor asing. Apalagi angin segar yang dibawa BP Batam yang tengah merumuskan konsep Kawasan EKonomi Khusus (KEK) diyakini akan membawa perubahan signifikan untuk Batam, Rempang dan Galang (Barelang).
Ia juga menyarankan PGN sengera membangun jaringan gas alam ke Rempang dan Galang yang tak lama lagi akan segera menjadi KEK. Sehingga, begitu persoalan legalitas selesai, ratusan investor yang telah menunggu lama untuk berinvestasi di Rempang-Galang bisa langsung tancap gas.
Harapan senada juga diungkapkan Deputi II BP Batam Bidang Perencanaan dan Pengembangan Badan Pengusahaan Batam, Yusmar Anggadinata. Ia mendukung penuh pengembangan PLTG di Batam karena dua tahun lagi, Batam memasuki era KEK hingga ke Rempang Galang. Di era tersebut, kebutuhan listrik akan sangat tinggi untuk mencukupi kebutuhan industri.
“Penting. Sekarang kan baru 533 Megawatt. Nanti Batam akan butuh kapasitas minimal 6000 Megawatt untuk penuhi semua sektor termasuk industri manufaktur, pariwisata, perdagangan, dan transportasi seperti Light Rail Transit (LRT),” kata Yusmar Anggadinata.
Pria yang akrab Angga ini meyakinkan BP Batam saat ini serius menyusun konsep yang tepat untuk menciptakan KEK yang membuat Batam memiliki daya saing tinggi dengan negara tetangga.
“Batam harus menjadi surga investasi, maka perlu didukung oleh gas alam, baik untuk kebutuhan pembangkit listrik maupun bahan baku produksi industri,” tegasnya.
Sekadar diketahui, investasi asing yang ada di Batam hingga 16 Agustus 2016 masih didominasi oleh Singapura. Jumlah proyek Singapura di Batam tercatat 449 dengan nilai investasi 5,36 miliar dolar Amerika. Secara total menempati 48 persen dari total investasi asing.
Gabungan penanaman modal asing (PMA) dari beberapa Negara selain Singapura yang tercatat di BP Batam ada 191 proyek dengan nilai investasi 1,26 miliar dolar Amerika, ditambah 185 proyek dengan nilai investasi 724,5 Juta dolar Amerika.
Ada juga PMA dari Malaysia sebanyak 72 proyek dengan nilai investasi 434,3 Juta dolar Amerika. Lalu Australia 34 proyek dengan nilai investasi 78 juta dolar Amerika. Menyusul Luxemburg satu proyek senilai 216 Juta dolar Amerika.
Total investasi asing di Batam mencapai 932 proyek dengan nilai 8,07 miliar dolar Amerika.
Sementara dari Januari hingga Agustus 2017, berdasarkan Izin Usaha yang dikeluarkan nilai proyek PMA yang masuk Batam baru 44 dengan nilai investasi 486,4 juta dolar Amerika. Belum termasuk aplikasi investasi yang menggunakan layanan 123J sebanyak 12 proyek dengan nilai investasi 145,3 juta dolar Amerika.
Total investasi asing dari Januari-Agutus 2017 mencapai 56 proyek dengan nilai investasi 631,7 juta dolar Amerika.
Sedangkan realisasi investasi dalam negeri (PMDN) yang tercatat di Badan Penanaman Modal Pemko Batam, triwulan I 2016 mencapai Rp 35,2 miliar. Hingga akhir 2016 meningkat sampai 500 persen. Lalu triwulan I 2017 total investasi Rp 21,1 miliar dari proyeksi Rp 459,9 miliar.
“Kalau FTZ dan KEK terealisasi, saya yakin ekonomi Batam akan lebih baik lagi. Investasi akan semakin banyak yang masuk, baik asing maupun dari dalam negeri,” ujar Gubernur Kepri Nurdin Basirun pekan lalu.
Ia juga mengapresiasi peran PGN Batam yang telah menyediakan gas alam baik untuk pembangkit listrik maupun bahan baku dalam proses produksi sejumlah industri di Batam hingga Bintan dan Karimun.
“Inovasi penyaluran gas oleh PGN menggunakan CNG ke Karimun dan Bintan untuk beberapa industri sangat membantu menghidupkan dua kawasan itu yang selama ini terkendala listrik,” kata Nurdin.
CNG (compressed natural gas) adalah penyaluran gas alam terkompresi dalam bentuk tabung.
Gubernur berharap semakin banyak kawasan di Kepri yang dilayani gas alam PGN, baik dengan membangun infrastruktur jaringan gas menggunakan pipa maupun menggunakan CNG. Pemerintah akan berupaya menggandeng investor agar mau membangun pembangkit listrik tenaga gas alam di wilayah lainya di Kepri.
“Saya yakin ekonomi Kepri ke depan akan lebih maju lagi,” ujarnya.
PGN sendiri sempat menyalurkan gas dalam bentuk CNG ke pembangkit listrik di Dompak, Tanjungpinang yang jadi pusat pemerintahan Provinsi Kepri. Namun untuk sementara terhenti karena pembangkit listrik tenaga gas di sana sedang relokasi.
“Tak lama lagi kami juga akan memasok CNG ke beberapa industri di Karimun,” ujar Amin. ***
sumber: https://batampos.co.id/2017/11/30/peran-strategis-pgn-di-ftz-kek-batam-perkuat-infrastruktur-gas-gairahkan-investasi/
More Stories
Artha Graha Peduli Salurkan Bantuan dan Pendampingan untuk Warga Rempang yang Bayinya Meninggal Akibat Infeksi
Protected: Terus Bertambah, Kini 37 KK Warga Rempang Tempati Hunian Baru
Misskomunikasi Picu Konflik Rempang, PT MEG: Lahan yang Ditempati Sudah Diserahkan Warga