zoomx.co
06 Des 2015
Sewajarnya, Indonesia ditunggu dipanggung konferensi Climate Change Paris 2015 untuk membeberkan langkah apa saja yang akan diambil untuk melindungi hutan? Bukan saja agar kebakaran hutan tidak terulang, tetapi bagaimana strategi konservasi dan manajemen hutan gambut bisa terjaga.
Pendek kata, Joko Widodo dituntut membeberkan best practices dari “Climate Management” secara umum. Media kita mengulas berulang-ulang mengenai pidato 3 menit presiden Jokowi yang meminta negara maju menggaransi imbalan tentang Climate Finance. Tapi, tampaknya “jantung” dari permasalahan COP21 Paris dan peran Indonesia belum terkupas.
Ikut menurunkan CO2 bukan hanya dari hutan hujan tropis Indonesia yang luasnya 93, 6 juta hektar (KLHK 2011), tapi banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan juga. Misalnya, pola ekonomi kita tampaknya belum memiliki jalan baru. Kita masih mengejar pertumbuhan, tapi caranya masih berkaitan dengan naiknya CO2 di atmosfir. Bulan Agustus 2015 lalu presiden Jokowi meresmikan pembangunan pembangkit tenaga listrik dari batubara di Batang. Sedang batubara dikenal sebagai energi yang paling “kotor”. Langkah-langkah politik energi berkelanjutan dan bersih hampir tidak terdengar, padahal, secara geografis Indonesia memiliki ragam energi dari laut, Hydro, geothermal atau pun surya.
Agenda mengurangi emisi karbon hingga 26% di 2020 presiden Joko Widodo akan lebih rumit, contohnya untuk politik infrastruktur saja, kita masih banyak PR. Ambil data tentang jumlah alat transportasi di Indonesia. Ada 104,2 juta alat transportasi dimana 86,2 juta sepeda motor (2012). Kebutuhan mobilitas di negara berkembang seperti Indonesia masih dinikmati produsen kendaraan yang dikuasai merek paling besar dari Jepang. Mayoritas kita masih “minum” subdsidi BBM hingga hari ini. Belum terbaca jelas bagaimana pemerintah secara nasional akan mengatasi transpor publik yang kian terlambat dan mahal investasinya. Ini tugas mendesak karena fakta ekonomi memperlihatkan nilai produktivitas masih rendah disebabkan tidak ada transpor publik yang layak bagi pekerja.
Perjuangan Presiden Jokowi mewujudkan INDC sebagai kontribusi kita bagi pencegahan naiknya suhu bumi memerlukan dukungan semua pihak. Sekarang, ketika kembali ke tanah air, kita pun mulai bertanya: Apa tanggung jawab Joko Widodo kepada rakyat? Apa hasil dari perjanjian multilateral yang ditandatangani di COP21 Paris ? Mampukah kabinet Jokowi-JK membuat terobosan menurunkan panas bumi ini?
Kemandirian Pangan
Sebagai anggota komunitas International, Indonesia juga ingin realistis, terutama prioritas yang bisa dicapai pada konferensi Paris, harus berguna secara Nasional. Bisakah dimulai dengan kemandirian pangan? Pertanian, seperti yang berlangsung saat ini, juga memberi kontribusi pada emisi karbon. Paham tentang cara bertani menurut panelist LPAA (Lima Paris Action Agenda) harus dipikirkan ulang.
“Dimulai dari petani berikut ibu rumah tangga, lalu mempertimbangkan kualitas tanah, air, udara, hingga keadilan pangan, seluruhnya saling terkait. Perubahan iklim global sangat mempengaruhi sistem produksi pangan dunia,” kata David Nabarro, Wakil Khusus PBB untuk urusan Ketahanan Pangan (UN Secretary-General’s Special Representative for Food Security and Nutrition) dalam briefing 1 December lalu.
Di tanah air sudah mulai tumbuh kantong-kantong pertanian yang mengadopsi metode “Food Forest Garden”, dimana alam mengambil alih keberlangsungan ekosistem, sehingga diharapkan bisa memiliki produksi pangan independen. Selain itu, cara “Food Forest Garden” bisa mendorong penduduk kota seperti Jakarta menghasilkan pangan organik. Selain tentu, menjadi contoh kongkrit gerakan masyarakat mendukung ketahanan pangan. Juga menjadi pola pertanian yang dipegang langsung oleh petani kecil. “Food Forest Garden” bisa merujuk ke upaya kita menjaga dan memelihara bumi.
Jangan menunggu ketentuan sakti yang akan keluar dari COP21 Paris.
Dibeberapa pembicara resmi #COP21 Paris, ada keyakinan perjanjian bisa tercapai di antara semua anggota. Hanya seberapa inovatif dan seberapa jauh masing-masing negara industri seperti EU bisa menggaransi Climate Finance? Hal kedua yang harus diamati adalah hasil presentasi ilmiah UNFCCC. Kelompok ilmiah ini bertanya: Bagaimana #COP21 mengukur hasil perjanjian? Apakah bisa dicapai penurunan suhu 2 derajat? Dalam bahasa lain, ilmuwan MIT itu meragukan “metodologi” peserta Paris. Mereka menduga, target 2 derajat tidak bisa dicapai dalam 14 tahun tapi 40 tahun lagi (http://climateparis.org).
sumber: http://zoomx.co/5086/pak-presiden-kemandirian-pangan-tantangan-terbesar
More Stories
Dukung Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Tim Saber AGP Ikut Jaga Kebersihan dan Keamanan
Artha Graha Peduli dan Artha Graha Network Terjunkan Tim Saber dan Dukung People Fest
Artha Graha Peduli dan Artha Graha Network Terjunkan Tim Saber dan Dukung People Fest