10 November 2020
Memotret fashion atau busana di panggung pertunjukkan dapat menjadi jalan bagi fotografer untuk menampilkan keindahan garis tegas dan warna pakaian dengan baik. Namun, saat busana dibingkai bersama keindahan alam, jejak peradaban sebuah kota, atau menyelaraskannya dengan isu-isu lingkungan sosial kekinian, bisa jadi ia akan lebih kaya makna. Karena busana tak hanya soal pakaian untuk menambah kecantikan seseorang, tetapi ia juga sebagai gerbang buat melihat dunia dan berpartisipati dalam menjaga keselarasan manusia bersama alam semesta.
Mengambil gambar busana dalam sebuah panggung pertunjukan bisa dikata layaknya makan di restoran cepat saji. Saat memasukinya pada jam makan, kita sebelumnya sudah membayangkan rasa, warna, dan bentuk makanan yang akan dipesan, dan bisa dipastikan menu itu yang disajikan oleh pelayanan restoran. Di restoran cepat saji, jarang ada kejutan menu baru melampaui imajinasi kita di waktu lalu.
Panggung pertunjukan menyediakan segalanya bagi fotografer untuk memfoto busana menjadi tampak seindah warna aslinya. Cahaya cukup, model cantik dengan aneka gaya, dan ruangan sejuk untuk membuat fotografer betah berlama-lama jika waktu pertujukan busana ternyata molor dari jadwal semula. Fotografer hanya tinggal duduk manis, memainkan jarak fokal lensa, dan menekan tombol rana kamera saat gaya sang model terlihat unik dan menarik. Pekerjaan fotografer di panggung pertunjukan sepertinya hanya bisa digagalkan jika kelupaan membawa kartu memori atau kamera yang dibawa kehabisan daya baterai.
Sineas yang mengawali kariernya sebagai fotografer busana, Jay Subyakto, berpendapat bahwa memotret busana tak hanya upaya untuk menampilkan pakaian sejelas-jelasnya. Dalam mencipta foto busana, mood atau nuansa menjadi kunci utama untuk membuka pemahaman seseorang tentang busana.
”Mood mengantarkan orang bagaimana untuk menikmati bajunya. Itu menjadikan foto close up model busana dibutuhkan untuk memperlihatkan wanita seperti apa yang pantas memakainya. Fashion itu, kan, sebenarnya apa yang cocok dengan kita, bukan apa yang dibuat terus kita kenakan,” katanya saat menjadi narasumber dalam webinar Kompas Talks Photography Weeks #3 bersama fashion stylist Michael Pondaag, Minggu (8/11/2020).
Bagi Jay, foto busana juga tidak harus memperhatikan ketajaman, tak harus jelas dan terang. Menurut dia, sesuatu yang jelas dan terang itu sangat membosankan dan menghilangkan daya imajinasi orang yang melihatnya. Ia lebih sering memilih nuansa yang membalut busana itu saat dilihat dari manusia yang memakainya atau suasana di lokasi pemotretan.
Dalam membuat karya, Jay selalu berupaya untuk tidak mengekor pada sebuah karya yang sudah ada. Baginya, memotret adalah proses penciptaan yang mengedepankan kreativitas dan orisinalitas. Ia ingin bingkai foto hasil bidikannya mampu menghidupkan imajinasi orang yang melihatnya.
Pada jenjang editorial, foto busana karya Jay Subyakto awalnya tidak begitu disukai karena dinilai terlalu gelap. Apalagi, saat ia membuatnya dalam foto hitam putih yang dinilai bisa mengurangi informasi untuk menjelaskan warna dan detail pakaian. Untungnya, banyak desainer ternama menyukai foto busana karya Jay yang terlihat beda dari yang pernah ada. Sebuah foto yang memberikan pengalaman baru bagi orang yang melihatnya.
Fashion stylist Michael Pondaag sepaham dengan Jay Subyakto bahwa baju tidak harus di foto seperti yang terlihat di panggung pertujukan busana. Saat kita ingin menunjukkan warna baju tertentu atau bagian-bagian yang menjadi keistimewaan sebuah pakaian, ia akan lebih pas jika diabadikan melalui pendekatan fotografi yang lebih artistik.
Michael Pondaag juga berpandangan bahwa suasana atau lokasi pemotretan sering kali membuat foto terlihat lebih dramatis dan menjadi inspirasi bagi perancang busana untuk berkarya. Setiap baju memiliki cerita tersendiri dan nuansa yang berbeda. Ia mencontohkannya melalui busana karya Irsan yang dibuat dengan kain warna emas dan di foto di Candi Borobudur.
”Candi Borobudur adalah salah satu simbol kejayaan Indonesia yang sangat indah. Saya berusaha melakukan pemotretan baju di tempat yang eksotis agar terlihat dramatis,” ujarnya.
Jay Subyakto menambahkan bahwa foto busana akan lebih bermakna jika ia bisa mengangkat keindahan alam Indonesia dan menjadi jendela melihat dunia, serta menjadi medium yang menunjukkan keberpihakan kita terhadap alam dan lingkungan. Melalui busana kita bisa mengingatkan bahwa manusia saat ini tengah hidup di era yang kurang menguntungkan. Selain diterjang badai pandemi, ancaman yang lebih mengerikan adalah tentang perubahan iklim.
”Pandemi Covid-19 dan perubahan iklim adalah jawaban alam atas kerakusan manusia yang sampai hari ini belum kita sadari,” ujar Jay.
Webinar ini menjadi rangkaian Kompas Talks Photography Weeks. Menurut rencana, webinar Kompas Talks Photography Weeks akan diadakan sebanyak enam kali dan digelar dua minggu sekali dengan tema dan pembicara yang beragam di setiap pelaksanaannya. Rangkaian webinar ini didukung oleh AIA Insurance, Artha Graha Peduli, PLN, Canon, dan Telkomsel. Tunggu webinar Photography Weeks selanjutnya.
Editor
DEMITRIUS WISNU WIDIANTORO
Sumber : https://bebas.kompas.id/baca/foto/2020/11/10/membingkai-busana-menjadi-lebih-bermakna/
More Stories
Artha Graha Peduli Berikan Bibit Ikan ke SDN 01 Ancol, Dukung Ketahanan Pangan dan Makanan Bergizi Gratis
Artha Graha Peduli Salurkan Bantuan dan Pendampingan untuk Warga Rempang yang Bayinya Meninggal Akibat Infeksi
Dukung Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Tim Saber AGP Ikut Jaga Kebersihan dan Keamanan