Kompas.com – 20/03/2020, 12:02 WIB
Editor Sri Anindiati Nursastri
IQBAL ELYAZAR
SUDIRMAN NASIR
SUHARYO SUMOWIDAGDO
Angka penularan COVID-19 di Indonesia berpotensi bertambah secara eksponensial–mengikuti deret ukur yang jumlahnya berangsur membesar dan kemudian tak terkendali–jika tidak ada upaya segera mengurangi laju penyebaran dengan menghilangkan faktor-faktor penting yang dapat memperluas wabah penyakit ini.
Dengan analisis fungsi eksponensial, kami perkirakan–dengan data kasus sejak 2 Maret dan asumsi level penggandaan waktu kasus seperti Iran dan Italia–pada akhir April 2020 akan terdapat 11.000-71.000 kasus COVID-19 di Indonesia.
Angka itu akan tercapai jika penanganan serangan coronavirus di negeri ini masih seperti saat ini: minim sekali informasi lokasi penderita dan kuantitas pemeriksaan penderita, sikap masyarakat kurang peduli untuk meminimalkan kontak antarorang, minimnya sanksi terhadap pelanggaran karantina mandiri, dan minimnya informasi lokasi yang harus dihindari masyarakat.
Kepastian Indonesia terkena COVID-19 bermula saat 2 Maret lalu Presiden Joko Widodo menyatakan ada dua kasus positif terinfeksi COVID-19 di Depok yang diduga tertular dari warga negara Jepang yang terbang dari Malaysia. Lalu, setelah itu jumlah kasus baru terus meningkat dengan cepat dan berlipat-ganda.
Pada akhir pekan kedua, kasus melonjak menjadi 117 kasus. Dan per 18 Maret, naik lagi mencapai 227 kasus dan sehari kemudian (19 Maret) melompat jadi 309 kasus. Per 19 Maret ada peningkatan kasus 154 kali dibanding hari pertama kali diumumkan. Selain itu, masih ada 480 pasien yang diawasi dan 976 orang dipantau terkait SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan penyakit COVID-19.
Angka-angka ini baru yang terlaporkan dan terdeteksi di laboratorium. Ada kemungkinan orang terinfeksi namun belum terdeteksi atau tidak melapor.
Pertumbuhan jumlah kasus COVID tersebut memasuki fase eksponensial setelah sebelumnya memasuki fase penundaan yang tidak terdeteksi. Pertumbuhan cepat serupa terjadi di Italia, Iran, dan Korea Selatan. Dampaknya, rumah sakit dan petugas kesehatan di sana kewalahan menangani ribuan pasien yang butuh perawatan bersamaan.
Jika pemerintah Indonesia tidak segera memotong laju pertumbuhan virus, potensi penularan virus akan makin meluas. Apalagi pada akhir April mulai puasa Ramadan, yang biasanya ada banyak kegiatan buka bersama sore hari dan malamnya salat jemaah tarawih di masjid yang melibatkan banyak orang dan kontak dekat antarorang.
Lalu akhir Mei nanti ada libur Idul Fitri, saat umumnya masyarakat merayakannya dengan pulang kampung, pertemuan massal dan kontak dekat antar penduduk.
Saat musim mudik dan Lebaran, biasanya hampir 15 juta orang secara bergelombang meninggalkan Jakarta, salah satu pusat penularan COVID-19, dan sekitarnya menuju Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan provinsi lainnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menetapkan masa darurat bencana akibat COVID-19 hingga 29 Mei 2020.
Kita perlu mengambil pelajaran dari sebuah pertemuan massal puluhan ribu orang menjelang Imlek di Distrik Baibuting, Wuhan, Cina pada 10 Januari, yang diduga menjadi medium awal penyebaran massal penyakit ini ke seluruh daratan Cina, lalu berkembang ke-167 negara dan teritorial.
Pertumbuhan eksponensial yang mengerikan
Jumlah kasus yang tumbuh secara eksponensial, pada tahap awal akan tampak tidak banyak, tapi pada suatu titik akan meledak luar biasa menembus daya tampung fasilitas kesehatan.
Dalam ilmu epidemiologi, laju kenaikan kasus menyatakan seberapa besar kasus itu meningkat dalam suatu periode waktu tertentu. Misalnya, jumlah kasus baru meningkat dua kali lipat dalam waktu satu minggu (waktu penggandaan, doubling time).
Tanpa ada pembatasan yang ketat, pertumbuhan jumlah pasien karena penularan virus adalah eksponensial. Artinya untuk tiap periode waktu yang sama terlewatkan, jumlah pasien menjadi N kali jumlah pasien sebelumnya.
Misalnya, jika jumlah pasien meningkat 2x setiap hari–setiap satu pasien menularkan ke dua orang–maka jumlah pasien pada hari pertama hingga hari ke-7 adalah: 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64.
Pada periode pekan pertama ini ini tampaknya jumlah pasien masih dapat ditangani petugas medis.
Namun jika penggandaan berlanjut, pada akhir pekan kedua jumlah pasien sudah menjadi 8.192. Pada akhir pekan ketiga menjadi 1.048.576, menembus lebih satu juta. Pada akhir pekan keempat menjadi 13.421.728, menembus lebih 10 juta.
Guna mencegah keadaan lebih buruk, penggandaan harus dihentikan sesegera mungkin di awal di saat jumlah pasien masih kecil.
Namun tampaknya banyak negara, termasuk Indonesia, tidak mengambil langkah-langkah drastis untuk mengurangi laju kenaikan pada saat awal karena menganggap jumlahnya masih kecil.
Laju kenaikan kasus juga bersifat dinamis, bisa naik atau turun, tergantung kepada periode waktu yang dianalisis dan intervensi yang dilakukan untuk mempengaruhi laju kenaikan tersebut.
Secara teoretis, intervensi seperti pembatasan kumpul sosial, pengetesan massal, dan isolasi kasus positif, seharusnya memperlambat jumlah kemunculan kasus baru.
Empat fase pergerakan wabah: kasus Korea Selatan, Italia, dan Iran
Ketiadaan atau kelambanan intervensi untuk mengurangi laju kenaikan kasus di tahap-tahap awal akan menghasilkan bencana. Kasus infeksi yang tidak terdeteksi ikut memperburuk perluasan wabah.
Dalam konteks wabah untuk penyakit menular, secara umum, ada empat periode: fase penundaan, fase eksponensial, fase statis, dan fase penurunan.
Fase penundaan
Fase penundaan sebenarnya merupakan fase awal ketika orang yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keluhan belum banyak.
Masa inkubasi coronavirus adalah 1-24 hari. Lamanya waktu ketika orang terinfeksi sampai dengan kemunculan gejala memberikan kesempatan kepada virus untuk memperbanyak diri sekaligus menular dari satu orang ke orang lain.
Terlebih terdapat orang yang positif COVID-19 yang tidak menunjukkan gejala. Tanpa tes, mereka mungkin tidak menyadari dirinya adalah pembawa virus SARS-CoV-2.
Pada fase ini, kebanyakan otoritas kesehatan dan masyarakat cenderung abai bahkan mengingkari masalah dan tidak peduli terhadap tindakan pencegahan dan pengendalian.
Korea Selatan, misalnya, melaporkan kasus pertamanya pada 20 Januari 2020.
Empat pekan kemudian, jumlah kasusnya baru mencapai 30 kasus. Pada 18 Februari, seorang pasien terkonfirmasi positif COVID-19 yang beberapa hari sebelumnya diketahui menghadiri acara rutin keagamaan di sebuah gereja yang dihadiri banyak orang. Dua hari setelah itu jumlah kasus di sana meledak menjadi 346.
Ada fase penundaan selama 4 minggu, saat otoritas kesehatan masih menemukan kasus secara pasif, melacak kontak dengan kasus positif dan belum melakukan tindakan aktif yang drastis. Setelah itu, kita melihat kenaikan kasus yang mengikuti pertumbuhan eksponensial.
Sampai 18 Maret, hampir 4 pekan setelah fase eksponensial dimulai, Korea Selatan melaporkan 8.413 kasus dan 81 kematian.
Fase eksponensial
Penundaan yang berlarut-larut untuk mencari siapa saja yang terinfeksi biasanya diikuti dengan ledakan kasus.
Pada fase ini, ketika kasus sudah terjadi di mana-mana, otoritas kesehatan dan sebagian besar masyarakat baru sadar bahwa bahaya sudah di depan mata.
Mereka mulai bersikap panik dan segera berpikir serta bertindak untuk mencegah dan mengendalikan situasi.
Celakanya, petugas kesehatan mulai kewalahan, fasilitas kesehatan sudah tidak cukup untuk menampung serta masyarakat mulai bertanya seberapa parah lagi bencana ini terus terjadi.
Italia menyajikan contoh laju pertumbuhan eksponensial yang lebih parah.
Negara ini melaporkan kasus pertama pada akhir Januari 2020. Sejak itu mulai dilaporkan beberapa kasus positif dari warga Italia yang kembali dari Cina.
Namun tiba-tiba pada 20 Februari (tiga minggu setelah kasus pertama), seorang warga Italia yang dilaporkan tidak pernah bepergian ke Cina atau memiliki kontak dengan orang yang datang dari Asia, dinyatakan positif virus corona. Penularan di wilayah lokal terkonfirmasi.
Sejak saat itu ledakan jumlah kasus tidak tertahankan lagi dan mengikuti pola pertumbuhan eksponensial. Sekitar enam minggu setelah kasus pertama, per 18 Maret, virus SARS-CoV-2 di sana telah menginfeksi 31.506 orang dan menyebabkan lebih dari 2500 kematian.
Iran menjadi contoh yang menarik untuk laju pertumbuhan eksponensial yang lebih besar dibanding Italia dan dalam waktu yang lebih pendek. Kasus pertama Iran lebih lambat ditemukan dan dilaporkan dibandingkan dengan Italia dan Korea Selatan, yaitu 19 Februari 2020.
Pemilihan umum dan tekanan politik di sana menunda proses pemeriksaan pasien terinfeksi. Pemerintahan akan menghukum siapa pun yang menyebarkan rumor tentang wabah, seperti halnya pemerintah lokal Wuhan di awal Januari 2020.
Dalam waktu kurang dari dua minggu, Kementerian Kesehatan Iran melaporkan 593 kasus dan terus naik sampai dengan hari ini. Hanya satu bulan sejak kasus pertama, per 18 Maret di Iran ada hampir 16.200 kasus dan 988 kematian.
Fase statis
Serangan yang terus-menerus itu kemudian sampai pada situasi yang laju kenaikan kasus mulai menurun dan penambahan jumlah kasus baru tidak lagi secepat pada fase eksponensial. Walaupun jumlah kasus baru tetap muncul, tapi jumlahnya relatif stabil.
Fase ini masuk fase statis atau jumlah kasus baru sudah sangat rendah dibandingkan sebelumnya, seperti yang saat ini terjadi di Cina.
Penurunan laju kenaikan kasus mungkin saja disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, laju pertumbuhan kasus menurun karena tindakan menghadang atau membendung penularan.
Kedua, masyarakat sudah mengembangkan imunitas yang tahan terhadap infeksi tersebut. Ketiga, berkurangnya populasi yang masih rentan terhadap infeksi (atau dengan kata lain telah banyak jatuh korban jiwa).
Fase penurunan
Fase terakhir, adalah ketika laju kenaikan kasus menunjukkan tren negatif dan jumlah kasus baru menunjukkan tren penurunan (fase penurunan).
Seberapa lama periode waktu dari masing-masing fase itu sulit untuk diprediksi. Namun yang pasti fase eksponensial akan segera datang setelah fase penundaan, seperti yang terjadi di Korea Selatan, Italia, dan Iran. Sampai saat ini, di antara ketiganya, hanya Korea Selatan yang mulai masuk ke dalam fase penurunan.
Bagaimana waktu penggandaan di Indonesia?
Situs Our World in Data menghitung laju pertumbuhan kasus baru untuk berbagai negara. Untuk Korea Selatan, jumlah kasus baru meningkat dua kali lipat setiap 13 hari.
Situs Our World in Data menghitung laju pertumbuhan kasus baru untuk berbagai negara. Untuk Korea Selatan, jumlah kasus baru meningkat dua kali lipat setiap 13 hari.
Iran dan Italia lebih parah, kasus baru meningkat dua kali lipat setiap 7 dan 5 hari. Cina dalam bulan Maret ini lebih baik dibandingkan pada Februari, lipat dua setiap 33 hari.
Dengan menggunakan data di Our World in Data, waktu penggandaan Indonesia sebesar 2 hari. Dengan kata lain, jumlah kasus Indonesia akan meningkat dua kali lipat setiap dua hari. Jika kita menggunakan angka ini sebagai acuan maka diperkirakan bahwa pada akhir Maret 2020, Indonesia akan melaporkan lebih dari 20.000 kasus.
Suatu angka yang sangat besar dan bisa melumpuhkan sistem kesehatan Indonesia.
Namun, mari kita asumsikan saja bahwa waktu penggandaan Indonesia itu sama dengan Iran (7 hari) atau Italia (5 hari), maka kita akan mendapatkan gambaran kasus akan menumpuk pada April 2020.
Dengan mengasumsikan pertumbuhan eksponensial seperti Iran dan Italia, maka pada akhir Maret, Indonesia akan melaporkan kasus antara 600-1000 kasus dan pada akhir April 2020 akan terdapat antara 11.000-71.000 kasus corona.
Perlu dipahami dalam konteks ini bahwa kasus yang dilaporkan saat ini hanya dari orang-orang yang datang ke fasilitas kesehatan atas kesadaran sendiri. Mereka yang datang sudah merasakan gejala menyerupai COVID-19 atau orang-orang yang terlacak dari hasil pencarian survei kontak dengan penderita positif sebelumnya.
Belum diketahui seberapa berapa besar penderita yang belum atau tidak mau datang ke layanan kesehatan karena tidak dilakukan tes massal sebagai deteksi awal seperti di Korea Selatan dan Italia.
Apa langkah mencegah pertumbuhan eksponensial?
Indonesia baru saja memasuki fase eksponensial. Tindakan segera memperlambat waktu penggandaan tersebut dapat dilakukan dengan:
1. Pemerintah dan petugas medis segera meningkatkan jumlah orang-orang berisiko yang diperiksa di daerah yang menjadi lokasi penderita ditemukan atau daerah yang memiliki indikasi penularan.
2. Pemerintah segera terbuka memberikan informasi tentang data lokasi penderita pada tingkat kecamatan sehingga masyarakat dapat ikut memeriksakan diri dan menghindari kontak dengan lokasi tersebut.
Pembukaan lokasi kasus pada tingkat yang lebih besar dari kecamatan (kota/kabupaten) akan terlalu kasar dan tidak cukup untuk membantu mengisolasi masalah. Pembukaan lokasi pada tingkat lebih kecil dari kecamatan memerlukan pertimbangan yang sangat matang.
3. Pemerintah segera meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong tindakan mandiri masyarakat untuk meminimalkan kontak dengan orang lain. Lebih baik tinggal dan bekerja di rumah selama wabah.
Dengan pemanfaatan lebih intensif ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbaikan kordinasi antarlembaga di dalam negeri maupun kerja sama antar organisasi di tingkat regional dan dan internasional, kami yakin pandemi ini bisa dikendalikan.
IQBAL ELYAZAR
Researcher in disease surveillance and biostatistics – Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU)
SUDIRMAN NASIR
Senior lecturer and researcher at The Faculty of Public Health – Universitas Hasanuddin
SUHARYO SUMOWIDAGDO
Physicist, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Sumber : https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/20/120200823/jika-tak-ada-intervensi-kasus-corona-di-indonesia-bisa-tembus-71000-akhir?page=3
More Stories
Menko PMK Serahkan Penghargaan Republika Award 2021
Profil Biodata dan Fakta Tommy Winata, Ayah Baptis Agnez Mo, yang Mendirikan Artha Graha Peduli (AGP)
Profil Biodata dan Fakta Menarik Konglomerat Tomy Winata, Ayah Baptis Agnez Mo Pemilik PT Artha Graha Network