Hotel Borobudur Jakarta Setiap Gedung Punya Cerita

5 Mei 2020

Hotel Borobudur Jakarta, atau dulunya bernama Hotel Banteng (era Bung Karno) dan Hotel Borobudur Intercontinental (1973-1990an), adalah sebuah hotel mewah berlantai 18 dengan jumlah kamar saat ini mencapai 695 kamar per 2020. Hotel Borobudur, dirancang oleh arsitek Perancis yaitu Damery, Vetter et Weil bersama dengan perancang struktur dari Coyne et Bellier dan dibangun oleh pemborong Cicofrance (18)(19) dari tahun 1971 hingga 1974, dan dilanjutkan oleh tim arsitek lokal dari Jasa Ferrie Partners dan pemborong Decorient Indonesia dari 1983 sampai 1986.

Sejarah
Awal pembangunan (1969-1974)
Pembangunan gedungnya sendiri sebenarnya sudah berjalan sejak 20 Mei 1963 (4), awalnya hanya 6 lantai (14). Di masa tersebut, Hotel Banteng dirancang oleh Frederich Silaban (15), dan dengan gedung raksasa 16 lantai tersebut direncanakan hanya diisi 237 kamar. Pada bulan Juli 1965, harian KOMPAS mewartakan rencana kawasan bisnis di sekitar Hotel Banteng dengan nama Bung Karno Centre (1). Pada 8 Juli 1965, pengelola Hotel Banteng, yaitu PT Hotel Banteng, menandatangani kontrak dengan perusahaan Italia untuk memasok tenaga ahli dan perlengkapan konstruksi (1). Pinjaman dana pembangunan Hotel Banteng juga berasal dari Italia (1).

Namun, masalah muncul semenjak krisis ekonomi dan politik mengganyang Indonesia. Sejak Juni 1966 proyek Hotel Banteng mangkrak di tahap penanaman pondasi. Bahkan pengambilan barang dari Tanjung Priok saja tidak bisa dilakukan, salah satunya berefek kekecewaan dari seniman Indonesia jebolan Cekoslowakia yang karyanya tidak pernah diambil pemborong hotel (2)(17).

Cicofrance (nama panjang Compagnie française de coopération économique), sebuah pemborong Perancis, menyelamatkan Hotel Banteng dari kemangkrakkan abadi, setelah menang tender untuk kerjasama modal pada tahun 1969 (3). Tetapi konstruksi penuhnya baru dimulai pada 29 Januari 1970 dalam sebuah upacara peresmian pembangunan Hotel Banteng oleh Presiden Soeharto (4). Dalam proses pembangunan gedung ini, Dirjen Kehakiman dan Akademi Hukum Militer harus pindah dari tempat yang sekarang menjadi bagian dari Hotel Borobudur (4).

Direncanakan dibuka pada tahun 1971, proyek Hotel Banteng mengalami sedikit perlambatan. Pada 6 Maret 1973, Menteri Perhubungan Frans Seda mengumumkan pergantian nama hotel menjadi Hotel Borobudur Intercontinental, dan mengatakan bahwa proyek diselesaikan oleh Intercontinental Group, karena Cicofrance dianggapnya tidak bisa menyelesaikan kewajiban perampungan gedung tersebut (6). Penggantian nama tersebut diresmikan oleh Menhub Emil Salim, dua bulan kemudian pada 3 Mei 1973 (7).

Agar Hotel Borobudur cepat selesai pembangunannya, terutama dengan pertemuan PATA 1974 yang saat itu akan dilangsungkan di hotel ini, kerjasama Cicofrance-Perhotelan Banteng Baru dihentikan Menhub dan formasi saham barupun dibentuk pada 17 Maret 1973, dimana Bank Dagang Negara, Pemerintah Republik Indonesia, International Finance Corporation dan Intercontinental Hotels Group masuk memegang saham perusahaan ini bersama dengan Cicofrance dan Perhotelan Banteng Baru (6)(7). Komposisi pemegang saham inilah yang menjadi cikal bakal PT Jakarta International Hotels & Development.

Proyek Hotel Borobudur berjalan mulus kembali. Pada 8 Januari 1974, eksterior Hotel Borobudur Intercontinental dikabarkan telah rampung, tetapi interiornya masih disiapkan untuk mengejar peresmian pada 1 Maret 1974 (8). Tetapi, peresmian hotel ini baru dilakukan pada 23 Maret 1974 oleh Presiden Soeharto, dengan 600 (9) dari 866 kamar yang dibuka terlebih dahulu untuk persiapan rapat PATA 1974 (10). Sisa kamar lainnya dibuka belakangan hari di tahun 1974 (10)(17).
Pasca-pembangunan (1974-sekarang)
Pasca perjuangan lebih dari 11 tahun untuk pembangunan gedung hotel utamanya, kemajuan Hotel Borobudur Inter-Continental tidak berhenti sampai di sana saja. Pada tahun 1983, sayap Garden Wing Hotel Borobudur, berlantai 7 dengan 3 blok, dibangun tak hanya sebagai kamar hotel tetapi juga sebagai apartemen dengan 140 unit. Pembangunan Garden Wing dilakukan oleh Decorient Indonesia, mulai pertengahan 1983 hingga selesai secara keseluruhan pada bulan Juni 1986 (16). Artinya ada 1006 kamar di Hotel Borobudur secara keseluruhan saat itu, dan untuk pertama kalinya perluasan Hotel Borobudur dilakukan oleh perancang dan pemborong Indonesia.

Pada bulan September 1995, Hotel Borobudur Inter-Continental mengumumkan renovasi besar-besaran yang membuat sebagian hotel tersebut rehat operasional sementara; renovasi dimulai Oktober 1995 (11). Garden Wing tidak mengalami renovasi. Renovasi tersebut selesai dilaksanakan pada tahun 1997; Presiden Soeharto meresmikan kembali Hotel Borobudur pada 11 November 1997 (12).

Sejak April 1999 Hotel Borobudur dimiliki oleh Tomy Winata dan Grup Artha Graha (sosok ini dikenal sangat kontroversial di Bali) (13). Belum ada catatan kapan manajemen InterContinental Hotel Group purnatugas dari Hotel Borobudur, dan menjadi bagian dari Discovery Hotels & Resorts.

Sekilas arsitektur dan profil hotel

Berlokasi di selatan Lapangan Banteng, hotel besar dan megah berlantai 18 ini dirancang oleh tim arsitek dari Perancis Damery, Vetter et Weil dan strukturnya dirancang oleh Coyne et Bellier, menggantikan rancangan Frederich Silaban yang tidak dipakai oleh PT Perhotelan Banteng Baru dan Cicofrance saat proyek kembali dilanjutkan. Sedang Garden Wingnya yang hanya berlantai 7 dan memiliki 3 blok dirancang oleh Raysoeli Moeloek dari Jasa Ferrie Partners, dan strukturnya oleh Wiratman & Associates (16).

Saat ini (Februari 2020), penulis blog belum mengetahui makna desain yang diusung Damery, Vetter et Weil, tetapi pewarta majalah ekonomi bulanan Progress, pada tahun 1974, menyebutkan bahwa Hotel Borobudur memiliki arsitektur mirip dengan lamin alias rumah panjang ala orang Kalimantan. Hotel dengan 695 kamar tersebut juga merupakan contoh arsitektur Indonesia di dekade 1970an (17).

Di gedung utama karya Damery, Vetter et Weil inilah terdapat 10 jenis kamar dari kamar terkecil (Superior, 32 m persegi) hingga suite terbesar (Presidential Suite 225 m persegi), sementara di Garden Wing hanya ada 3 jenis kamar yang dibedakan berdasarkan jumlah kasur yang ada (20). Tidak ada informasi pembagian jumlah kamar.

Saat dibuka, Hotel Borobudur tercatat, dalam iklannya yang menghabiskan 4 halaman di harian Sinar Harapan terbitan 3 April 1974, memiliki rumah makan Restoran Indonesia Mataram, Toba Rotisserie yang menyajikan masakan Eropa, rumah makan Jepang Keio, rumah makan kebun Bogor Brasseries dan kedai minum Pendopo Bar (10). Walau secara garis besar hanya berubah nama (Keio sekarang bernama Miyama, Bogor Brasseries sekarang menjadi Bogor Cafe dengan fokus makanan lokal, menggantikan Restoran Indonesia Mataram, atau Toba Rotisserie yang menjadi kedai Italia Bruschetta), terdapat beberapa rumah makan dan bar baru seperti Churchill Wine & Cigar Bar dan Teratai Chinese Restaurant (20).

Hotel Borobudur saat ini memiliki 12 ruang rapat dan Flores Ballroom yang diklaim bisa menampung maksimal 3000 orang (10)(20).
Data dan fakta
Nama lama: Hotel Banteng, Hotel Borobudur Inter-Continental
Alamat: Jalan Lapangan Banteng Selatan Jakarta
Arsitek:
Damery, Vetter et Weil (gedung utama, desain)
Coyne et Bellier (gedung utama, struktur)
Raysoeli Moeloek (Jasa Ferrie Partners, Garden Wing, desain)
Wiratman & Associates (Garden Wing, struktur)
Pemborong:
Cicofrance (gedung utama)
Decorient Indonesia (Garden Wing)
Lama pembangunan:
Mei 1963 – Maret 1974 (gedung utama | Cicofrance 1969 – 1974)
pertengahan 1983 – Juni 1986 (Garden Wing)
Jumlah lantai:
18 (gedung utama)
7 (Garden Wing, 3 blok)
Jumlah kamar: 695 (keseluruhan)
Biaya pembangunan: USD 28 juta/Rp 11,4 milyar (modal yang ditanam pada 1973, setara USD 160 juta/Rp 2,2 triliun nilai 2019)
Signifikasi: Tidak ada
Referensi
ANTARA/KOMPAS (1965). “Bung Karno Centre”. KOMPAS, 9 Juli 1965, hal. 1
“Inilah Collosseum di Djakarta”. KOMPAS, 7 Januari 1967, hal. 1
ANTARA (1969). “Pembangunan Kembali Hotel Banteng Dimulai Hari Ini”. KOMPAS, 1 April 1969, hal. 2
thn (1970). “Pembangunan Kembali Hotel Banteng: Hotel Terbesar di Indonesia Selesai Achir Djuni 1971.” KOMPAS, 30 Januari 1970, hal. 1 dan 7
rb (1973). “”Hotel Banteng” Dirubah Jadi “Hotel Borobudur Inter-continental”.” KOMPAS, 7 Maret 1973, hal. 12
Mk (1973). “Pembangunan Hotel Borobudur Dilanjutkan”. KOMPAS, 20 Maret 1973, hal. 2
Mk (1973). “Hotel Borobudur Harus Selesai Februari 1974.” KOMPAS, 4 Mei 1973, hal. 1
Mk (1974). “Borobudur Inter-Continental Diresmikan 1 Maret.” KOMPAS, 9 Januari 1974, hal. 2
psc (1974). “Hotel ‘Borobudur’ Akan Diresmikan”. KOMPAS, 11 Maret 1974, Hal. 3
Advertorial (1974). “Hotel Inter-Continental Terbesar di Asia Dibuka di Jakarta”. Sinar Harapan, 3 April 1974, hal. 5-8
Wlh/A-5 (1995). “Hotel Borobudur Inter-Continental Akan Punya Wajah Baru”. Suara Pembaruan, 22 September 1995
“Apa Siapa: Pengoperasian Kembali”. KOMPAS, 16 November 1997, hal. 11
GUN (1999). “Kilasan Ekonomi: Hotel Borobudur Dimiliki Tomy Winata”. KOMPAS, 1 Mei 1999, hal. 2
Mac (1995). “HUT Borobudur”. Media Indonesia, 21 Maret 1995
Arsitektur Indonesia (arsip)
“Garden Wing Hotel Borobudur: Berstandar internasional dengan citra Indonesia.” Majalah Konstruksi, Mei 1986, hal. 21-28
“Borobudur Memburu Ketenaran”. Progres No. 61, Desember 1974, hal. 36-38
Website arsitek Gilbert Weil (arsip)
“In Praise of One of the Wonders of the World”. Building Materials & Equipment Southeast Asia, Oktober 1974. Diakses via web Gilbert Weil (arsip). Hanya ada dua halaman. Bila anda memiliki isi lengkapnya, mohon kirimkan scan majalahnya melalui kolom komentar.
Website resmi Hotel Borobudur

Lokasi

Sumber : https://www.setiapgedung.web.id/2020/05/hotel-borobudur-jakarta.html