9 February 2021
Jakarta,Ruangenergi.com- Dalam memasarkan maupun mempromosikan potensi sumber daya alam (termasuk di dalamnya mineral), saatnya Pemerintah Indonesia mengganti cara pemasarannya. Tidak usah lagi terlalu sering memaparkan potensi cadangan.
Jangan sampai hal ini diketawain sama Amerika dan Cina kalau hanya memaparkan hal itu. Mereka sudah jauh lebih hebat punya info atas cadangan sumber daya alam Indonesia.Sudah lebih dulu punya mereka,lengkap data sumber daya alam Indonesia.
Usaha penerapan tata kelola sumber daya dipahami secara dangkal sebatas profiling potensi pertambangan tambang dari aspek kewilayahan, ada tidaknya lembaga pendidikan yang bisa menyuplai SDM di sektor pertambangan, dan perkiraan jumlah cadangan atau sumberdaya mineral.
Semua isu itu sudah diketahui sejak lama oleh investor. Para investor tentunya memiliki instrumen riset and development yang solid terkait sumber-sumber bahan baku penting. Elon Musk yang ditelepon Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasti sudah punya data nikel dunia dan sudah pasti paham bahwa Indonesia adalah negeri yang paling kaya di dibanding negara-negara lain. Tapi mengapa hingga hari ini mereka belum memutuskan untuk berinvestasi di sini, inilah yang harus menjadi perhatian bersama.
Saat ini yang justru semakin menguat adalah kepedulian pasar terhadap isu lingkungan dan sosial terkait produk industri ekstraktif. Pasar industri baterai dan mobil listrik itu tercipta karena adanya tuntutan global akan industri yang ramah lingkungan dan bersahabat dengan masyarakat. Karena itu, tidak mungkin produsen mobil listrik mau membangun pabrik dan membeli bahan baku secara langsung dari para pelaku perusak lingkungan. Itu sama saja bunuh diri.
Sayangnya, negara justru masih belum sukses hadir terkait kedua isu tersebut. Negara terkesan tidak berdaya menghadapi hantaman kerusakan lingkungan di sektor pertambangan. Negara justru terkesan lepas tangan, membiarkan perusahaan berhadapan adu kuat dengan masyarakat jika ada konflik menyangkut isu lingkungan dan sosial.
Di sisi lain, tidak ada pemikiran bagaimana sustainability tambang ke depan. Yang membuat sedih, selama ini rare earth element (REE) atau dikenal sebagai Logam Tanah Jarang (LTJ) dibuang puluhan tahun, dan baru sekarang saja dimanfaatkan. Ketika ada pemikiran membuat mobil listrik, barulah terpikir pemanfaatan REE /LTJ ini dimaksimalkan.
Seorang kawan yang memiliki gelar Doktor Sosiologi,namun enggan diungkap namanya,menenggarai bahwa kudeta militer yang terjadi di Myanmar,disebabkan karena rebutan REE. Menurut dia, junta militer setempat melihat mineral REE itu banyak di Myanmar.Sebarannya sampai ke Kamboja dan Vietnam.
Potensi REE di Myanmar sudah dipetakan oleh Pemerintahan Aung San Suu Kyi.Bahkan sudah disiapkan rencana pengembangan lima tahunan (Repelita). Nah potensi ini lah yang dilirik militer Myanmar. Itu sebabnya, ketika junta militer mengambil alih pemerintah legimited Aung San Suu Kyi, berarti seluruh kontrak pengembangan REE berubah. Terjadi renegosiasi ulang antara Myanmar dengan negara-negara yang berminat kembangkan REE, di antaranya Cina.
Yang disesalkan sobat itu,potensi REE yang bergelimpangan di tambang-tambang nikel yang ada di Sulawesi Selatan diabaikan, bahkan dibuang begitu saja. Harusnya ada perencanaan pertambangan disiapkan untuk pemanfaatan mineral. Ini malah mineral yang potensial, yang cepat jadi uang ditambang duluan. Sedangkan LTJ “dibuang” begitu saja. Ini yang terjadi dan dialami LTJ.
Sudah saatnya para staf ahli di kementerian memikirkan bagaimana meningkatkan potensi LTJ di era green energy. Dunia sudah bergeser dari pemakaian sumber daya energi konvensional menuju ke energi hijau (green energy). Salah satu proyek green energy adalah membuat kendaraan listrik (electric vehicle).
Salah seorang ahli logam tanah jarang di Indonesia, bercerita bahwa kendala pengembangan LTJ selama ini dikarenakan tersandera aturan. LTJ dianggap mineral radioaktif yang pengolahannya diawasi oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Namun sejak Undang-Undang Minerba Nomer 3 Tahun 2020, diubah lah posisi LTJ dari mineral radioaktif menjadi mineral strategis.
LTJ terdiri dari banyak unsur logam.Salah satunya unsur yang paling penting adalah magnet permanent. Apa itu magnet permanent? Magnet permanent (ferromagnet) adalah bahan yang menghasilkan medan magnet. Magnet permanent terbuat dari bahan feromagnetik, seperti besi, dan dibuat ketika bahan ditempatkan di dalam medan magnet. Ketika medan magnet dihilangkan, objek tetap magnet. Magnet permanen memiliki medan magnet permanen dan tidak hidup atau mati seperti halnya elektromagnet. Magnet permanen adalah jenis tertua dan masih digunakan untuk berbagai macam aplikasi saat ini.
Ada unsur LTJ yang kita pakai di dalam magnet permanent ini ialah Neodium. Nah sayangnya semua bahan logam tadi impor. Seluruh produsen battery mengimpor produsen baterai mengimpor salah satu bahan bahan baku kendaraan listrik ini. Padahal komponen logam dalam battery itu ada di unsur logam tanah jarang (LTJ).
Berarti selama ini tidak ada kegiatan operasi produksi logam tanah jarang di Indonesia? Yang kedua, tidak ada satupun mencatat produksi lithium, thorium,scandinavium? Tidak ada, itu jawabannya. Kenapa? Ya karena itu belum diteliti dan dikembangkan di Indonesia dengan maksimal. Hanya skala pilot project sampai sekarang belum dimanfaatkan.
Padahal ada 2 (dua) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berkecimpung di dalam produsi mineral yakni PT Antam Tbk dan PT Timah Tbk, belum memaksimalkan proses produksi LTJ, termasuk monasit. Pertanyaannya, apakah mereka tidak tertarik atau..kenapa? Itu yang perlu dijelaskan ke khalayak luas di negeri ini.
Bagaimana nantinya nasib mineral strategis,yakni LTJ kalau tidak diolah dengan maksimal dan dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa ini?
Nasib Monasit di Indonesia
Monasit adalah logam yang didapat dari proses pemurnian aluvial. Monasit sbg hasil pencucian dari ore aluvial timah dipastikan ada di seluruh tambang mineral yang menghasilkan timah.
Monasit selama ini tidak ada secara khusus perusahaan tambang yang mengolahnya. Celakanya, belum ada aturan yang secara spesifik mengatur pengolahan monasit ini. Padahal dalam proses pengolahan timah pasti ada monasit. Disimpan atau tidak? Tidak ada yang tahu pasti.Ada mata rantai yang putus di sini, tidak tahu ke mana dan bagaimana monasit diolah.
Bayangkan, jika dalam produksi menghasilkan stannum selalu ada monasit. Nah stannum yang dijual atau dikapalkan ke pembeli, maka ke mana monasitnya? Di buang begitu saja? Oh tidak mungkin.Semua orang tahu monasit itu berharga. Perlu ada yang berani membuka kotak pandora ini.
Klaim
PT Timah Tbk mengklaim tidak semua cadangan aluvial mengandung monasit. Namun tergantung origin source of deposit seperti apa.Setiap mineral ikutan dari satu daerah dengan daerah lain itu bisa beda.
Contohnya di Cina itu mineral ikutannya, emas sama perak. Sedang di Peru, mineral ikutannya itu Tantalum (Tantalum adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Ta dan nomor atom 73. Unsur jenis logam transisi ini sangat tahan korosi dan ditemukan pada mineral tantalit. Tantalum digunakan pada alat bedah dan implantasi karena tidak bereaksi dengan cairan tubuh).
“Di Indonesia juga beda mineral ikutannya. Tergantung pada masa pembentukan ada kejadian apa di sana. Nah itu setiap daerah beda, ada karakteristiknya tersendiri,” kata Direktur Utama PT Timah Tbk Riza Pahlevi kepada ruangenergi.com
Dia menjelaskan PT Timah Tbk pasti bergerak masuk kepada logam tanah jarang (LTJ/rare earth element). Buktinya, sudah mempunyai pilot project di Tanjung Ular. Ini bukti Timah serius garap LTJ.
“Logam Tanah Jarang ini teknologinya sangat tertutup.Jadi tidak semua orang ngerti. Jadi kalau kita masuk, istilahnya kita bisa development sendiri teknologinya. Atau bisa partnership dengan strategic partner dengan pemilik teknologi. Selama ini banyak yang mau ambil monasitnya saja.Tapi tidak mau kerjasama dengan kita (Timah).Ini yang kita tidak mau.Kita maunya dia kerjasama dengan Timah,” tegas Riza.
Dalam catatan ruangenergi.com,PT Timah Tbk (TINS) berencana membangun fasilitas baru khusus pengolahan monasit dan ditargetkan mulai dibangun pada akhir tahun 2020. Adapun saat ini, TINS masih dalam tahap finalisasi desain dan ditargetkan rampung pada semester I-2020.
“Tahun ini kami lagi upayakan segera mendirikan pabrik pembangunan pengolahan monasit. Harapannya kalau sudah terbangun fasilitasnya bisa mengolah logam tanah jarang,” kata Direktur Utama Timah Mochtar Riza Pahlevi saat konferensi pers di Hotel Borobudur, Senin (10/2/2021).
Sumber : https://www.ruangenergi.com/catatan-redaksi-strategi-pemasaran-potensi-tambang-termasuk-rare-earth-element/
More Stories
Perayaan Tahun Baru 2025 : Hotel Borobudur Jakarta Akan Hadirkan Ungu
Hotel Borobudur Jakarta Gelar “Discover Art & Batik Selama 1 bulan
Hotel Borobudur Jakarta Merayakan Kemerdekaan Indonesia ke-79