www.kompasiana.com
18 Agustus 2015 16:13:22
Masih segar dalam ingatan kita, perayaan tradisional kemerdekaan (panjat pinang, makan kerupuk, balap karung, dsb) yang selalu kita rayakan setiap tahunnya. Bahkan perayaan tradisional kita itu sempat menjadi polemik yang diperbincangkan di media Kompasiana kita. Entah itu usaha untuk membongkar relevansinya, memperbaharui kesan ‘tidak ada manfaatnya’, dsb-dsb.
Saya tidak menyalahkan mereka-mereka yang kritis, tapi saya pribadi masih suka dengan perayaan-perayaan tradisional itu. Bagi saya, perayaan itu selalu berkesan tiap tahunnya, selalu ada saja moment-moment yang membuat saya rindu perayaan-perayaan itu. Entah karena saya terjatuh ketika balap karung, atau pernah juga keselek (tersedak) ketika lomba makan kerupuk, dan masih banyak lagi. Moment-moment yang (cuman) terjadi satu kali dalam setahun itu, membuat saya tidak punya alasan untuk memperdebatkannya.
Sama halnya ketika saya tidak pernah mempertanyakan “kenapa ya, setiap tahun dalam tradisi Tionghoa, mereka yang sudah menikah harus memberi angpao kepada mereka yang belum?”, atau sama seperti saya tidak pernah menanyakan kepada teman saya orang Thailand “bro, kenapa sih loy krathong (tradisi menutup tahun-melarung/menerbangkan lentera ke langit) terus dirayakan tiap tahun?”
Selalu ada Pesan Moral yang Bisa Dipetik
Mereka yang sibuk mendebat mengenai perayaan tradisional itu, sebetulnya orang-orang yang gagal paham mengenai pesan moral di dalamnya. Saya coba berandai-andai, seandainya tradisi bagi-bagi angpao itu tidak pernah ada. Tentu mereka-mereka (keluarga Tionghoa) yang sudah berkeluarga akan sombong, merasa diri mampu secara ekonomi, dan lupa berbagi berkat pada mereka yang masih bujang. Berbagi berkah hidup berkeluarga yang direpresentasikan dalam adat istiadat itu pasti tidak pernah ada.
Jangan salah bro, meski tradisi tahunan-tradisional itu Nampak sepele, tapi selalu ada artinya. Lomba makan kerupuk misalnya, bagaimana anda bisa memaknai nasionalisme melalui usaha yang keras, pantang menyerah, selalu menengadah ke atas. Atau contoh lain lomba panjat pinang misalnya, bagaimana usaha gotong royong antar masyarakat itu Nampak jelas dari usaha bahu-membahu saling topang untuk mencapai satu tujuan. Atau lomba balap karung misalnya, bagaimana anda bisa berusaha mencapai tujuan dengan keadaan sulit (kaki dalam karung, harus lompat), bagaimana kita tetap bisa fleksibel menghadapi tantangan dalam hidup berbangsa-bernegara.
bro..anda lupa pesan berharganya…
Meski kemudian ada cerita kelam dibalik perayaan-perayaan tradisional itu, apakah justru dengan cerita kelam itu kita lupa begitu saja bagaimana perjuangan para pendahulu kita menghadapi sulitnya memperjuangkan kemerdekaan? Apakah tradisi yang katanya tradisi feodal itu tidak mampu mengingatkan kita untuk tidak melupakan susahnya perjuangan para tentara kita menghadapi para penjajah dulu? Coba renungkan sejenak….
Tradisi Tradisional itu, Alasan kita Bangga Terhadap Indonesia.
Melihat, membaca bagaimana bangganya saudara-saudara kita di Milan mengenalkan tradisi tujuhbelasan itu, membuat saya sadar-bahwa sudah sepantasnya saya bangga. Bukan melulu karena alasan mereka membawa nama Indonesia, tapi justru karena mereka (orang luar itu), para turis asing itu, akhirnya menyadari bahwa tradisi itu mewakili perjuangan bangsa tempo dulu dalam melawan penjajah.
Setidaknya, mereka akhirnya tahu, bahwa tradisi-tradisi itu bukti bahwa kita ini masih terus eksis ditengah gempuran perkembangan dunia. Tradisi sederhana yang sebetulnya mewakili perjuangan terus-menerus rakyat Indonesia sampai saat ini.
Sedikit cerita, beberapa teman saya yang tengah merayakan 17an di kapal pesiar, mereka begitu bangga bahwa perayaan itu adalah bagian dari acara kemerdekaan. Ketika saya tanya alasannya, jawabannya simple ; “itu sejarah kita bro, bagian dari budaya kita, itulah mengapa perlu kita rayakan dengan bangga.”
Saya tidak punya alasan untuk memperdebatkannya. Karena mereka yang tahu sejarahnya, pasti akan sadar bahwa acara tradisional itu sudah menjadi bagian dari kebudayaan warisan bangsa ini. Budaya warisan turun-temurun yang kemudian terus mengingatkan kita untuk tidak melupakan sejarah bangsa. Salah satu cara sederhana yang membuat kita punya alasan untuk terus menjaga keharmonisan, kerukunan, dan semangat gotong-royong antar sesama.
Akhir kata, selamat merayakan gagap gempita Hari Kemerdekaan!
Salam Hangat,
Penulis.
More Stories
Artha Graha Peduli Berikan Bibit Ikan ke SDN 01 Ancol, Dukung Ketahanan Pangan dan Makanan Bergizi Gratis
Artha Graha Peduli Salurkan Bantuan dan Pendampingan untuk Warga Rempang yang Bayinya Meninggal Akibat Infeksi
Dukung Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Tim Saber AGP Ikut Jaga Kebersihan dan Keamanan