www.mediaindonesia.com
Senin, 30 November 2015
CoP 21 Paris ini diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah yang mendesak dan konkrit oleh Para Pihak khususnya Kepala Negara, demi keselamatan seluruh makhluk bumi hingga menghasilkan kesepakatan yang kuat untuk menurunkan emisi secara signifikan agar suhu bumi dapat turun 1,5 derajat celcius seperti sebelum masa industri. Target ini dinilai ambisius dari sebelumnya, yaitu 2 derajat celcius.
Pasalnya, selama ini Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai Kyoto Protokol terus diperlemah dengan tekanan dari sistem ekonomi politik kapitalistik yang menjadikan isu perubahan iklim sebagai peluang baru bagi korporasi dan negara industri untuk semakin mengakumulasi modal, dengan menjadikan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, khususnya dalam mitigasi perubahan iklim melalui REDD.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Abetnego Tarigan, perubahan kebijakan tidak selalu berkorelasi dengan perbaikan bila kebijakan yang dihasilkan hanya sebagai tambal sulam dan paradigma yang masih mengeksploitasi gambut, “Dipastikan tidak akan merubah keadaan,†ujarnya.
Faktanya, krisis dunia terus terjadi. Karenanya, paradigma ekonomi dan pembangunan dunia juga haruslah berkeadilan dan berkelanjutan. Sorotan yang tertuju kepada Indonesia sayangnya bukan karena keberhasilan pemerintah Indonesia dalam memenuhi komitmennya menurunkan emisi 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional hingga tahun 2020.
Komitmen tersebut tidak terpenuhi dikarenakan pemerintah Indonesia mengikuti dan mengambil pilihan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim proyek-proyek REDD yang dijadikan sebagai isu utama dalam mitigasi perubahan iklim.
Jika sumber emisi GRK Indoesia terbesar dari Land Use Land Use Change and Deforestation (LULUCF), maka peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang teradi di Indonesia beberapa bulan silam justru menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia.
Artinya, selama ini hampir tidak ada pembenahan tata kelola hutan dan gambut, bahkan dibalik kemasan REDD sekalipun atau dengan kemasan restorasi ekosistem. “Pemerintah akan menyiapkan Badan Rehabilitasi Gambut (BRG). Penyiapan BRG ini merupakan pesan yang jelas bahwa gambut di Indonesia memiliki masalah serius dan salah puncak masalah itu adalah terjadinya kebakaran besar tahun 2015 ini,†ungkapnya.
CoP 21 Paris menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk merubah paradigma pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. WALHI berharap kehadiran Presiden Jokowi ke COP21 dan pidatonya di UNFCCC untuk menyampaikan komitmen menurunkan emisi GRK dengan baseline yang jelas dengan menghitung kebakaran hutan dan lahan serta emisi dari sektor energi kotor seperti halnya batubara.
Dengan kata lain, INDC’s Indonesia yang masih menunjukkan keraguan komitmen atau kontribusi Indonesia yang dapat terlihat melalui indikasi penurunan emisi 29% dengan mekanisme Business As Usual (BAU) perlu dikoreksi.
Penurunan emisi
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif UNFCCC Christiana Figueres mengatakan isu penting yang akan dibawa ke CoP ini adalah bagaimana negara-negara dunia ikut berpartisipasi mencegah naiknya suhu bumi akibat pemanasan global. Ãntinya negara-negara di dunia harus ada aksi nyata bagaimana menjaga suhu global tetap di bawah 2 derajat Celcius,†kata Figueres di Le Bourget, Prancis, Minggu (29/11).
Untuk bisa menjaga suhu Bumi tidak naik maka setiap negara memiliki INDCs (Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) yang akan menjadi ukuran pelepasan emisi per kapita selama lebih dari 15 tahun.
Emma Rachmawati, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ditemua di Jakarta mengatakan, dengan adanya INDCs, setiuap negara tidak bias santai dalam melakukan aksi iklim. “Sebab ada ukurannya selama ini sudah melakukan apa. Kalau sebelumnya, ya setiap negara sudah melakukan upaya penyelamatan lingkungan ya sudah. Sekarang harus ada ukurannya. Setia[ negara harus punya status negoisasi pengurangan emisi. Ini tidak bisa dilakukan pemerintah, melainkan pengusaha, masyarakat ikut dilibatkan,â€terang Emma.
Hanya, ada catatan penting yang akan digaungkan negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam aksi iklim ini. Dalam upaya penurunan emisi karbon, negara maju dan negara berkembang tidak boleh pukul rata. “Harus dibedakan antara negara maju dan berkembang,†tegasnya.
Dia mencontohkan rata-rata negara berkembang memiliki hutan, seperti Brazil, Argentina, Indonesia dan lainnya. Negara-negara pemilik hutan ini telah memiliki rencana internasional berupa target restorasi 120 juta hektar hutan. Indonesia pun ikut di dalam rencana internasional itu, agar penurunan emisi karbon bisa tercapai. “Skemanya seperti apa setiap negara harus punya negoisasi. Kalau di Indonesia skema-skema voluntary akan digunakan untuk sector kehutanan.â€
Cara-cara semacam ini tidak mengacu pada system pukul rata. Setiap negara memiliki kelebihan dalam menurunkan emisi karbon.
Pada bagian lain Walhi berharap berharap kehadiran Presiden Joko Widodo dalam CoP 21 UNFCCC ini bisa memberikan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan baseline jelas dan menghitung dari kebakaran hutan dan lahan, serta emisi dari sektor energy kotor yakni batubara.
Khalisah Khalid, Eksekutif Nasional Walhi yang ikut hadir di Paris juga mendesak agar presiden tidak memberikan kesempatan kepada korporasi yang terlibat dalam kebakaran hutan dan bencana asap yang selalu mengatasnamakan restorasi ekosistem.
“Jika presiden masih melibatkan korporasi termasuk dengan menggunakan mekanisme trading dalam penanganan perubahan iklim, sama saja melecehkan korban kabut asap,†tegasnya. (Q-1)
sumber: http://www.mediaindonesia.com/misiang/read/4643/CoP-Momentum-Tepat-Hasilkan-Kesepakatan/2015/11/30
More Stories
Artha Graha Peduli Berikan Bibit Ikan ke SDN 01 Ancol, Dukung Ketahanan Pangan dan Makanan Bergizi Gratis
Artha Graha Peduli Salurkan Bantuan dan Pendampingan untuk Warga Rempang yang Bayinya Meninggal Akibat Infeksi
Dukung Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Tim Saber AGP Ikut Jaga Kebersihan dan Keamanan