Senin 08 Nov 2021 07:24 WIB – Red: Karta Raharja Ucu
Menyelamatkan harimau sumatra seperti menyelamatkan umat manusia dari kehancuran.
Oleh : Heka Hertanto, Ketua Umum Artha Graha Peduli
REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia menduduki urutan ketiga sebagai negara yang memiliki hutan hujan terluas di dunia, setelah Brazil dan Kongo. Berdasarkan buku Potret Keadaan Hutan Indonesia yang disusun oleh Forest Watch Indonesia tahun 2019, hutan tersebut merupakan cadangan karbon dunia dan setiap kerusakan dapat berdampak serius terhadap perubahan iklim global (Michael, 2001).
Hutan merupakan paru-paru dunia. Hutan mempunyai berbagai jenis pepohonan dan tanaman yang memiliki kemampuan menyerap karbondioksida yang dihasilkan oleh manusia, membentuk oksigen serta mengatur siklus air dengan menyerap air melalui akar-akar yang dimilikinya. Hutan merupakan bagian penting dari siklus air sehingga dapat mencegah terjadinya banjir serta sebagai penyumbang produksi oksigen terbesar didunia. Diperkirakan hutan Indonesia menyumbang 40 persen produksi oksigen dunia.
Indonesia diberikan anugrah oleh Tuhan sebagai negara di urutan ketiga yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia, setelah Brazil dan Kongo. Hutan adalah salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan bahkan juga menjadi ruang hidup bagi seluruh makhluk hidup tidak terkecuali manusia.
Hutan hujan tropis di Indonesia sangatlah spesial, karena merupakan ekosistem unik tempat berkembangnya flora dan fauna endemik yang spesifik nan langka. Seperti hutan hujan tropis di Pulau Sumatera yang merupakan tempat tinggal empat hewan endemik khas yaitu harimau, gajah, orangutan serta badak sumatera. Sayangnya ke empat spesies hewan ini dalam kondisi terancam punah.
Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu-satunya spesies harimau yg masih terdapat di Indonesia. Spesies harimau lain di Indonesia seperti harimau bali dan harimau jawa sudah punah di 1937 dan tahun 1980. Hanya tersisa harimau sumatera yang adalah spesies harimau terkecil di antara sembilan spesies harimau pada dunia yang masih hidup di rimba Sumatera. Harimau sumatera memiliki keunikan tersendiri karena memiliki ciri khas yang berbeda yaitu warna kulitnya lebih gelap dengan garis belang hitam yang lebih rapat.
Kementerian Lingkungan hidup serta Kehutanan Indonesia mengungkapkan, populasi harimau sumatera saat ini hanya tersisa sekitar 600 ekor dan masuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature atau Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Harimau sumatera dikategorikan sebagi hewan yang terancam punah sehingga perlu dilindungi.
Berkurangnya populasi harimau sumatera dikarenakan oleh bermacam faktor seperti deforestasi, alih guna lahan dipinggiran hutan taman nasional, perburuan liar, konflik harimau dengan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan sebagainya. Harimau menjadi sasaran perburuan liar karena kulit, tulang, dan beberapa bagian tubuh dianggap berkhasiat sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Perburuan liar juga berdampak bagi berkurang populasi hewan-hewan mangsa harimau seperti rusa, kijang, babi dan kancil, sehingga menyebabkan sering terjadi harimau masuk ke wilayah tinggal manusia di sekitar hutan untuk mencari makanan. Hal ini diperparah oleh adanya perubahan alih fungsi wilayah sekitar hutan dari wilayah penyangga hutan menjadi fungsi lahan lain seperti kebun sawit, perumahan, persawahan dan sebagainya.
Tanda ekosistem sehat
Keberadaan harimau dalam sebuah hutan mengindikasikan adanya ekosistem hutan yang sehat. Kepunahan hewan pemangsa top predator dapat dijadikan tanda bahwa sebuah ekosistem tak terjaga dengan baik, lalu masa depan seluruh ekosistem hutan itu terancam seiring punahnya spesies yanglg menduduki puncak rantai makanan.
Menyelamatkan harimau, berarti ikut pula menyelamatkan ekosistem dan habitat asli hutan yang besar. Bila populasi harimau merosot, maka kestabilan rantai makanan terganggu. Itu menyebabkan aneka macam perubahan ekosistem.
Jikalau harimau hilang maka satwa mangsanya, seperti rusa, babi hutan bisa berkembang biak tanpa kontrol. Hilangnya harimau mengakibatkan terjadinya trophic cascade yaitu sebuah fenomena ekologi yang dipicu oleh ketidakseimbangan jumlah populasi imbas adanya penambahan atau hilangnya hewan predator puncak. Ini akan berdampak pada perubahan dramatis struktur ekosistem yang ada dan siklus nutrisi.
Dunia pernah mengalami kejadian trophic cascade ini, seperti yang dikutip oleh Wiene Andriyana, dari artikel The Secret Wisdom of Nature, yang ditulis oleh Peter Wohlleben, menceritakan tentang pengalaman getir yang terjadi di taman nasional tertua dunia yakni Yellowstone National Park di Amerika Serikat.
Serigala pernah jadi hewan top predator di sana. Punah di akhir tahun 1930, karena banyak masyarakat di sekitar taman nasional memburu hewan tersebut.
Serigala diburu karena dianggap sebagai pemangsa hewan ternak masyarakat. Setelah serigala lenyap, terjadi ledakan populasi homogen rusa besar (moose) yang tadinya sebagai mangsa utama serigala. Rusa ini memakan habis rumput dan tanaman muda, yang berakibat tidak terjadinya regenerasi pepohonan di dalam hutan di taman nasional tersebut.
Sebagai akibatnya, berbagai burung dan berang-berang menghilang karena tidak memiliki sumber pangan yang cukup karena kalah pangan dengan rusa. Sungai terdampak, karena hilangnya vegetasi rumput membuat siklus air terganggu.
Sungai tidak punya area penahan lagi menyebabkan tingginya debit air masuk sehingga banjir dan erosi tidak terhindarkan. Peristiwa ini terus terjadi sampai 1995, karena buruknya dampak terhadap ekosistem, akhirnya Pemerintah Amerika Serikat mengambil keputusan untuk mendatangkan dan melepasliarkan serigala asal Kanada. Perlahan-lahan keseimbangan alam kembali ke Yellowstone.
Tentunya kita tidak menginginkan peristiwa ini terjadi di Indonesia. Punahnya harimau sumatera tentunya akan berdampak pada terganggunya ekosistem hutan hujan tropis di Indonesia. Itu karena, terganggunya ekosistem hutan tentunya akan memicu terjadinya perubahan iklim yang berdampak pada berkurangnya pasokan makanan untuk penduduk Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera.
Menyelamatkan harimau sumatera dari kepunahan adalah sama dengan menyelamatkan umat manusia dari kehancuran/kepunahan yang perlahan. Jika harimau menjadi predator tertinggi musnah di hutan ini seperti tukang kayu mencabut satu balok kayu yang sedang memegang posisi kunci pada permainan balok susun, begitu balok kunci disingkirkan, balok susun pun akan runtuh.
Memastikan kelestarian harimau sumatera secara permanen adalah tugas kita semua. Tidak saja pihak yang berwajib yang bertugas menjaga tetapi semua pihak baik itu pemerintahan dan seluruh unsur masyarakat harus terlibat dalam pelaksanaannya. Pemikiran yang ada selama ini bahwa harimau adalah ancaman sehingga harus diburu dan dibunuh, harus dihilangkan.
Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang menjadi habitat harimau harus terus menerus diyakinkan bahwa dengan keberadaan harimau di tengah rimba, dapat menjaga kelestarian ekosistem hutan yang mendukung kehidupan manusia. Masyarakat harus menjadikan harimau sebagai pawang ekosistem demi masa depan spesies kita, demi kelestarian planet ini agar kita tidak mewariskan harimau sumatera hanya dengan cerita “syahdan” serta gambarnya saja pada anak-cucu kita kelak.
sumber: https://www.republika.co.id/berita/r2895d282/harimau-sang-pawang-ekosistem-part1
More Stories
Artha Graha Peduli Berikan Bibit Ikan ke SDN 01 Ancol, Dukung Ketahanan Pangan dan Makanan Bergizi Gratis
Artha Graha Peduli Salurkan Bantuan dan Pendampingan untuk Warga Rempang yang Bayinya Meninggal Akibat Infeksi
Dukung Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Tim Saber AGP Ikut Jaga Kebersihan dan Keamanan