cnnindonesia.com
Karubaga, CNN Indonesia — Fiktor Kogoya segera merampungkan aktivitasnya membakar kayu ketika wartawan CNN Indonesia, Aghnia Adzkia, bertandang ke rumahnya di Distrik Karubaga, Tolikara, Papua, Kamis sore (24/7).
Fiktor, putra Tolikara penerus salah satu suku terbesar daerahnya dari marga Yikwa dan Kogoya itu menyambut kedatangan tamunya. Dia langsung sedih ketika ditanya soal kerusuhan di wilayahnya yang terjadi pada Hari Raya Idul Fitri, Jumat (17/7). Insiden penyerangan jemaah salah Id berlokasi sekitar 300 meter dari rumahnya.
Pria paruh baya itu berulang kali mengemukakan keprihatinannya. Ia tak menyangka tragedi itu bisa terjadi setelah selama 30 tahun muslim hidup rukun berdampingan dengan umat Kristen di kampungnya.
“Dengan sejarah kami, tidak pernah dan tidak mungkin terjadi seperti ini. Mungkin ada kepentingan kelompok yang membuat situasi seperti ini. Jangan sampai orang yang berkepentingan (buruk) ini membuat konflik lagi,” kata Fiktor.
Dia mengenang, kala ia kecil, para tetua adat kerap bercerita soal umat Islam yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri di daerah itu. Dengan nada lirih, Fiktor menceritakan ulang kisah yang dituturkan sesepuhnya itu.
Saat itu tahun 1986. Ratusan penduduk Jawa Timur bertransmigrasi ke Papua, termasuk ke Distrik Karubaga yang masih menjadi bagian dari Kabupaten Jayawijaya. Mayoritas transmigran adalah muslim. Mereka berprofesi sebagai pengajar atau guru di sekolah-sekolah di sejumlah distrik.
Kaum pendatang itu mengajarkan beragam hal pada anak-anak Papua. Kedatangan guru-guru tersebut membawa perubahan bagi sebagian besar warga lokal.
“Teman-teman muslim datang ke sini kan mendidik kami. Mereka membuat kami ada perubahan hidup,” kata Fiktor.
Sesepuh adat merasa berterima kasih dengan kehadiran para guru tersebut. Warga lokal Papua lantas menganggap kaum pendatang sebagai sanak saudara. Rumah mereka terbuka bagi para guru yang hendak bertandang.
Saban tahunnya saat libur sekolah tiba, guru-guru dari berbagai distrik kerap bermain ke kampung halaman Fiktor untuk bertemu sesama guru lainnya atau sekadar menikmati alam. Para guru pun kerap tinggal selama beberapa waktu di rumah-rumah warga lokal. Dari situlah keakraban mulai muncul.
Cerita serupa dikisahkan tokoh muslim Tolikara, Ustaz Ali Mukhtar, yang ditemui CNN Indonesia di halaman rumah Fiktor. Ali mengatakan saudaranya dari Jawa berbondong-bondong mencari pekerjaan ke Papua untuk bertahan hidup.
Suatu ketika, kata Ali, seorang kepala suku bernama Carel Yikwa yang tak lain adalah kakek Fiktor, bertemu dengan seorang guru bernama Zupri asal Jombang, Jawa Timur. Carel lalu terkaget-kaget melihat aktivitas sang guru yang belum pernah dilihatnya.
Ia langsung melontarkan pertanyaan kepada Zupri. “Pak Guru kenapa? Kau sakit badankah, kok badan ditekuk-tekuk begini?” ujar Ali menirukan ucapan Carel saat itu.
Mendengar pertanyaan itu, Zupri segera menjawab, “Kami punya agama model sembahyangnya seperti ini.”
Rupanya saat itu sang guru tengah membungkukkan badan pada posisi rukuk dan sujud.
Carel jadi paham. Lama-kelamaan, kata Ali, Carel menjadi familiar dengan cara umat Islam melaksanakan salat. Warga lokal lainnya pun menjadi tak asing dengan gaya ibadah muslim itu.
Dua tahun kemudian, Carel terpantik hatinya untuk memberikan sebidang tanah guna dibangun musala sebagai tempat ibadah muslim Tolikara.
“Kami yang punya tanah ulayat. Maka orangtua saya, tete (kakek) saya, kasih tempat ini (untuk bangun musala) karena guru-guru sudah datang mendidik kami,” ujar Fiktor menceritakan sejarah berdirinya musala di Tolikara.
Akhirnya pada 1988, didirikanlah sebuah bangunan yang kemudian difungsikan sebagai musala untuk muslim di Disrik Karubaga, Tolikara. Musala dibangun di atas lokasi yang semula digunakan sebagai terminal.
Di sebelah kanan dan kiri musala itu, terdapat kios-kios milik warga setempat yang digunakan untuk berjualan, termasuk tanah ulayat milik Carel dan keluarganya.
Musala tersebut dapat menampung hingga 100 orang tiap kali ibadah salat berlangsung. Saban Jumat, umat Islam Tolikara menggunakannya untuk salat Jumat bersama. Hal itu, menurut Ali, terhitung luar biasa.
“Kami sudah bersyukur musala dibiarkan berdiri. Gereja-gereja Advent dan Baptis belum bisa berdiri di sini (Tolikara). Padahal itu gereja. Makanya kami bersyukur karena tempat ibadah Islam bisa berdiri,” kata Ali.
Musala itu menjadi satu-satunya tempat ibadah muslim Tolikara yang digunakan selama hampir tiga dekade. Dua dekade pertama, musala dapat menampung seluruh umat Islam yang salat. Namun memasuki dekade ketiga pada 2009, jamaah salat mulai tumpah-ruah.
“Jamaah sudah mulai sampai luar (musala). Sudah tidak muat lagi. Jumlah muslim yang menetap ada 800 di Tolikara,” ujar Ali.
Alhasil, ratusan muslim lain yang tak tertampung di dalam musala menggunakan lapangan untuk menggelar salat. Begitu pula saat pelaksanaan Salat Idul Fitri pada Jumat (17/7).
Detik-detik kerusuhan
“Kami baru salat. Rakaat pertama takbir ketujuh, ada suara ‘Hentikan, hentikan. Tidak ada kegiatan seperti ini’,” kata Ali mengingat peristiwa kerusuhan saat Salat Idul Fitri di kampungnya belum lama ini.
Sesaat kemudian, imam salat, Junaedi, segera menghentikan ibadah. Jemaah berteriak tak keruan. Ibu-ibu dan anak-anaknya sempoyongan melarikan diri sembari berteriak ketakutan.
Sedikitnya 400 muslim berhamburan melarikan diri dari sekelompok orang yang mengamuk dan mengacaukan jalannya salat Id yang belum rampung itu. Ali yang mestinya menjadi khatib pun gagal menyampaikan ceramahnya.
“Ada lemparan batu dan kayu. Kios-kios juga terbakar. Merembet ke rumah lalu musala,” ujar Ali.
Ali yang juga panik berusaha menenangkan jemaah. Ia segera mengarahkan mereka untuk berlindung ke markas Komando Rayon Militer setempat.
Suasana kian ricuh dan panas. Massa melempari batu dan kayu ke arah kios serta musala. Ali juga mendengar suara peluru ditembakkan oleh aparat Kepolisian.
Seketika 12 orang tumbang dan dilarikan ke rumah sakit. Nahas seorang di antaranya, Endi Wanimbo (15), meninggal dunia karena kehabisan darah akibat luka tembak. Sementara korban lainnya dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dan RSUD Dok 2 Jayapura.
Selang beberapa jam, api yang melalap puluhan kios dan rumah di Tolikara akhirnya padam. Rumah Ali ikut terbakar. Begitu juga musala yang telah berdiri sejak puluhan tahun di Tolikara.
Saat kejadian, sekitar 2.000 jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) tengah menggelar konferensi internasional yang bertempat tak jauh dari musala. Kepolisian menduga pelaku penyerangan adalah jemaat GIDI.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan, dua tersangka yakni Arianto Kogoya dan Jundi Wanimbo, diduga menghasut penyerangan dan merusak sejumlah bangunan. (Baca Identitas Tersangka Tolikara: Pegawai Bank dan Staf Pemda)
Terlepas dari proses hukum, kesepakatan damai telah tercapai antara GIDI dan muslim Tolikara. Sekretaris GIDI Tolikara Pendeta Marthen Jingga saling peluk dengan Ali tepat sehari usai tragedi.
“Kami sudah damai secara adat. Kami sudah bermaafan,” ujar Marthen.
Cara adat yang dimaksud Pendeta Marthen ialah semacam syukuran atau kenduri. Biasanya, warga Tolikara memotong babi beramai-ramai untuk disantap bersama.
“Seharusnya potong babi, tapi saudara muslim tidak makan babi. Jadi kami cari sapi. Ini belum dapat,” katanya. (Baca: Warga Tolikara akan Kenduri, Acara Potong Babi Diganti Sapi)
Rehabilitasi musala
Sepekan setelah kejadian, Jumat (24/7), umat Islam di Distrik Karubaga melangsungkan salat Jumat berjemaah di Lapangan Voli Koramil Tolikara. Usai salat, warga mulai membangun masjid sebagai ganti musala yang terbakar.
“Tanah yang dipakai (untuk membangun masjid) milik Koramil, di Lapangan Voli,” kata Ali.
Keputusan pembangunan masjid di atas tanah Koramil itu atas izin dari Panglima Daerah Militer XVII Cenderawasih Mayor Jenderal TNI Franssen G Siahaan. Franssen langsung menginstruksikan jajarannya untuk bahu-membahu membantu proses rekonstruksi bangunan.
Kamis malam (23/7), Ali bersama dengan Kapolres Tolikara AKBP Suroso, Komandan Komando Distrik Militer Andreas, Komandan Komando Resor Militer Abipura Yuli Yunianto, serta Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan kubu Muktamar Jakarta Sudarto, menggelar rapat koordinasi terkait pembangunan musala tersebut.
“Bahan dasar seperti semen, batu bata, dan pasir, kami yang sediakan. Selanjutnya, silakan nanti kalau mau ada bantuan lain,” kata Sudarto.
Sebelumnya, proses pembangunan musala sempat tersendat lantaran ketiadaan lahan. Bupati Tolikara Usman Wanimbo tak mengizinkan pembangunan dilakukan di atas lahan yang terbakar.
Kini demi mengembalikan ketenteraman di Tolikara, umat Islam dan Kristen setempat tengah merumuskan deklarasi damai untuk menjamin terlaksananya pembangunan masjid.
Damai di Bumi Cenderawasih!
sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150727065256-20-68254/kisah-kristen-tolikara-hibahkan-tanah-ulayat-untuk-musala/
More Stories
Artha Graha Peduli Berikan Bibit Ikan ke SDN 01 Ancol, Dukung Ketahanan Pangan dan Makanan Bergizi Gratis
Artha Graha Peduli Salurkan Bantuan dan Pendampingan untuk Warga Rempang yang Bayinya Meninggal Akibat Infeksi
Sportivitas dan Keseruan Pekan Pesta Olahraga di Mal Artha Gading