November 23, 2024

Artha Zone

Created & modified by m1ch3l

Aksara Kemang: Obituari Sebuah Ruang Komunitas di Jakarta Selatan

Toko buku Aksara Kemang tampak dari depan pada suatu sore yang dipadati kendaraan bermotor. tirto.id/Hafitz Maulana

14 Desember 2020

tirto.id – Selama 32 tahun tinggal di Jakarta, saya tidak pernah baper menyaksikan setiap perubahan yang terjadi pada bangunan-bangunan di kota ini. Cerita berbeda kala saya berdiri di tengah ruang kosong yang temaram di Jl. Kemang Raya 8B, Jakarta Selatan. Tempat yang sebelum 1 Desember 2020 bernama Ak’sa’ra (selanjutnya ditulis Aksara). Seorang penjual donat yang masih membuka kios di area courtyard berkata bahwa Aksara dan beberapa usaha yang menempati gedung tersebut—seperti kios kopi Ruang Seduh, bioskop alternatif Kinosaurus, Lab Laba Laba, kios mi ayam, kios es krim, dan galeri lukisan—tutup permanen. Pada siang hari 1 Desember 2020, ketika saya berkunjung ke sana, kios yang masih dibuka hanya restoran Jepang, toko cuci film analog Lab Rana, dan toko piringan hitam LaLa Records. Aksara dikenal sebagai toko buku. Tapi bagi anak muda yang datang ke sana pada 2000-an, Aksara adalah tempat mereka mendapat referensi kultural di luar media arus utama. Tempat itu menyimpan kisah orang-orang yang mendirikan grup musik dan kemudian jadi besar hingga eksis sampai hari ini, membentuk mimpi individu-individu yang siap diwujudkan seiring berjalannya waktu, mempertemukan insan-insan yang kemudian saling jatuh hati dan menikah, menjadi tempat menyendiri terbaik sekaligus ruang diskusi, dan sebagainya. Pada masanya sebagian besar remaja yang tinggal di kota ini bermimpi dan berlomba untuk dapat kesempatan jadi shopkeeper di Aksara. Paling tidak mereka bisa dipandang keren dan berbudaya. Pengumuman resmi soal tutupnya Aksara Kemang adalah kabar yang bikin patah hati. Tim Aksara mengumumkan bahwa mereka tetap menjual barang secara daring. Tapi Aksara, bagaimanapun juga, bukan sekadar toko buku. Ia adalah ruang komunitas yang tumbuh di saat orang-orang di kota ini belum begitu akrab dengan konsep ruang kreatif komunal. Ia tak hanya memberi warna dan identitas pada kawasan Kemang, tetapi juga berperan dalam membentuk cara pandang individu-individu yang kerap datang ke sana. Bagi saya, Aksara memproyeksikan gairah insan kreatif yang tinggal di kota ini dan turut membuka wawasan perihal sejauh mana eksplorasi kreativitas mereka berkembang. Inilah yang kerap luput dilihat orang.

Bermula dari Keinginan Nostalgia Kamu bisa menganggap Aksara sebagai apa pun: toko buku elite, toko buku yang menjual alat cukur, toko buku yang menjual makanan, dan sebagainya. Buat saya, toko ini adalah pembuka cakrawala terhadap kultur arus pinggir orang muda Jakarta dekade 2000-an. Kesan pertama muncul pada 2005 ketika saya masih jadi siswi SMA yang berada di Pulo Raya dan tinggal di Cilandak Timur. Jl.Kemang Raya, lokasi Aksara, adalah jalur yang dilewati sehari-hari sepulang sekolah. Bangunannya unik dan tidak mencolok. Fasadnya berbentuk kotak, bagian depannya dilapisi material kayu cokelat tua yang bentuknya secara sekilas mengingatkan pada kisi-kisi jendela rumah di pedalaman Jawa Tengah tempo dulu. Sebelum galeri Dialogue, yang bangunannya mulai dibuat pada 1997, dibuka untuk umum, Aksara adalah ruang publik pertama di Kemang dengan desain arsitektur modern. Ketika sudah bekerja, barulah saya tahu bangunan itu dirancang Andra Matin, arsitek yang turut memelopori pendekatan modernisme dalam desain bangunan di Indonesia. Sekarang bangunan seperti itu sudah lazim.

Berkat Aksara, saya gembira mengetahui ada berbagai jenis desain menarik dari kamera Lomography, benda yang sedang digandrungi orang-orang seusia kami pada awal 2000-an. Selain itu ada banyak majalah impor yang bisa dibaca di tempat—perihal yang kala itu memunculkan impian saya untuk jadi penulis di majalah gaya hidup perempuan. Koleksi majalah yang dijualnya cukup berbeda dibandingkan majalah-majalah gaya hidup yang dijual di toko buku impor lain. Kinokuniya, misalnya, waktu itu lebih banyak menjual majalah dari Jepang dan majalah gaya hidup arus utama di AS. Bila sudah puas membolak-balik majalah, saya pindah melihat-lihat koleksi CD dari dalam dan luar negeri yang sebagian musisinya belum pernah saya dengar namanya; tidak seperti nama-nama musisi tersohor yang CD atau kasetnya dijual di toko musik besar seperti Aquarius atau Disc Tarra. CD bisa diputar di tempat dan para penjaga toko Aksara, yang selalu tampil rupawan, tidak akan mutung bila saya pulang tanpa membeli CD yang sudah saya dengarkan. Ruang itu kemudian jadi pilihan saya pada waktu luang bahkan sampai hari ini, 15 tahun kemudian. Ada begitu banyak perubahan. Yang paling terasa, area yang menjual buku dan majalah kini hanya menempati dua per tiga dari satu sisi dinding ruang utama toko, plus sebuah meja kayu di hadapannya yang kini diisi banyak koleksi zine lokal. Aksara tetap cukup ramai. Kebanyakan anak muda datang untuk bekerja di area komunal (yang tadinya rak-rak buku impor), menonton film di mikro sinema Kinosaurus, mencuci roll film analog, berpesta manakala komunitas musik arus pinggir menyelenggarakan acara, atau sekadar membeli kopi.

Menjaga Eksistensi Toko Buku Independen “Sebenarnya Aksara Kemang sudah goyang pada 2007. Waktu itu Kemang secara keseluruhan lagi ‘busuk-busuknya’ menurut saya—sedang jadi lokasi hangout populer. Tempat hiburan di mana-mana bikin jalanannya macet. Di saat yang sama dunia digital mulai berkembang, baik dari sisi buku maupun musik. Ada Kindle, ada iPod,” Adinda Simanjuntak, Direktur Kreatif Aksara yang jadi bagian dari institusi itu sejak 2002, berkata kepada saya. Aksara diresmikan pada 2001 dengan optimisme Winfred Hutabarat, saat itu berusia 30, yang baru kembali dari studi di AS. Dalam wawancara dengan Tempo pada 11 Maret 2001, Winfred berkata ia ingin membangun toko buku karena ruang tersebut adalah bagian dari gaya hidup dan pada masa itu Jakarta belum punya toko buku yang bisa dipandang sebagai bagian dari “gaya hidup” urban. Mendirikannya di Kemang, saat itu masih jadi pemukiman para ekspatriat, bukan tanpa alasan. Sebagai bisnis tentu saja Winfred mesti melihat kalangan mana yang mampu menyambut kehadiran toko buku impor dengan cukup mudah. “Well designed. Orang bisa nyaman menghabiskan waktu lama di toko sambil membaca dan mendengar musik yang baik. Mengkurasi buku seni dan desain yang mumpuni, menjual buku yang bukan best seller dengan selection yang luas, pekerja ramah dan bisa merekomendasikan buku kepada tamu,” kata Adinda mendeskripsikan karakteristik Aksara. Selain menonjol dengan buku-buku desain/arsitektur serta jenis coffee table books, Aksara juga punya buku-buku sastra klasik sampai kontemporer hingga buku cerita anak. Selain itu dibangun pula Aksara Music, tempat penjualan CD dari musisi independen di dalam dan luar negeri.

Di Jakarta saat itu sudah ada QB, toko buku impor independen yang dibangun Richard Oh pada 1999. Ia punya beberapa cabang di Plaza Senayan, Jl. Sunda, Plaza Semanggi, juga Kemang (kini jadi gedung Informa). Richard rutin menyelenggarakan diskusi dan peluncuran buku di QB. Ia juga memfungsikan sebagian ruangan untuk pameran foto dan lukisan serta membuka kedai kopi di dalamnya. Namun toko buku ini tutup pada 2006 karena minat atau daya beli publik terhadap buku impor pada masa itu tergolong rendah. Sementara Aksara bertahan. Saat itu bahkan Aksara masih bisa meraih pasar lebih luas, sebut saja pekerja di SCBD lewat cabang pertamanya di pusat perbelanjaan Pacific Place. Selain itu manajemen Aksara membuka restoran Casa, yang menjadi cikal bakal berdirinya grup lifestyle F&B Union Group. Pada tahun-tahun berikutnya ekspansi berlanjut dengan membuka cabang di Plaza Indonesia dan Cilandak Town Square. Masing-masing cabang punya spesifikasi berbeda sesuai demografi pembeli. Cabang Plaza Indonesia, misalnya, lebih banyak menjual piranti makan dan buku anak; sementara cabang Pacific Place menjual lebih banyak stationery. Tapi pendapatan yang diperoleh dari cabang di mal tak serta merta bisa diputar untuk membuat Aksara Kemang kembali untung. Pada 2017 seluruh cabang di mal tutup akibat tingginya biaya sewa. Kemang pun jadi satu-satunya harapan. Meski begitu, optimisme Winfred Hutabarat yang sudah 15 tahun berusaha mempertahankan toko buku impor independen terasa menyusut. Tidak semudah itu mewujudkan impian membuat toko buku dengan konsep serupa Books & Company di New York.

Pada Desember 2017 saya menjumpai Dario Gambit, saat itu ia adalah manajer Aksara. Kami berbincang di ruang kerja tempat buku-buku desain dan arsitektur mancanegara berjajar di rak, menumpuk di atas meja, dan berserakan di beberapa sudut ruang. “Semua punya Arini. Ini dulu ruangannya,” kata Dario menyebut Arini Subianto, kawan Winfred yang membesarkan Aksara. Campur tangan Arini agar Aksara memiliki koleksi buku desain berkualitas cukup signifikan. Arini lulusan Parsons School of Design The New School, kampus desain terpopuler di New York. “I mean it’s really, really tough situation.” Saya ingat Dario mengucap itu sambil menggelengkan kepala, menghela napas, menyandarkan pundaknya di kursi kerja, dan menyentuh dagu dengan jemarinya. “Kami rebranding. Jadi Aksara tidak hanya bookstore, tetapi juga gift store.” Ketika saya datang hari itu, interior Aksara bagai labirin yang tersusun dari tripleks putih. Dario bilang mereka sedang merenovasi untuk menyesuaikan fungsi ruang. Setelah renovasi, ruangan utama toko buku terbagi lagi jadi beberapa, di antaranya berfungsi sebagai kelas menggambar yang diorganisasi oleh lembaga Ganara. Para tamu juga bisa menemukan barang-barang seperti piranti makan, peralatan memasak, alat tulis, telepon, dan berbagai elemen dekorasi lain yang bentuknya sungguh unik. Perubahan-perubahan fungsi ruang di Aksara Kemang sebetulnya terjadi sejak 2015. Saya tidak bisa mengingat persis sudah berapa kali perubahan di lokasi tempat saya membaca majalah dulu. Yang saya ingat area itu pernah jadi tempat penjualan sepeda. Ini cerminan bahwa mendirikan bisnis toko buku fisik di Indonesia masih belum mudah, sehingga menciptakan multi brand store—demikian istilah Adinda Simanjuntak—jadi salah satu solusinya.


Tetap Bernapas Karena Komunitas “Andai kamu bisa bikin sesuatu di sana, silakan saja,” ucap Adinda Simanjuntak menirukan perkataan Winfred kepadanya sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu Winfred berniat menjual Aksara. Adinda memilih mengupayakan Aksara agar tetap eksis dengan segala penyesuaian. Pada 2015 Adinda sudah berusaha mengaktifkan kembali Aksara yang terasa “depressing” dengan mendirikan mikrosinema Kinosaurus bersama suaminya, sutradara film Edwin, dan produser film Meiske Taurisia. Di ruang bioskop itu ada beberapa arsip dan perlengkapan milik Lab Laba Laba—inisiatif sejumlah pelaku sinema dalam pemeliharaan arsip film analog. Lima tahun belakangan Kinosaurus aktif menyelenggarakan agenda rutin berupa pemutaran film independen dari dalam dan luar negeri setiap akhir pekan. Pada hari biasa, ada kalanya ruang itu digunakan untuk diskusi seputar perfilman dan industri kreatif lainnya. Sebelum Kinosaurus lahir, mikrosinema di Jakarta yang punya agenda pemutaran film independen adalah Kineforum di Dewan Kesenian Jakarta dan Paviliun 28 di Petogogan, Jaksel. Setelah 2015, ruang-ruang alternatif pemutaran film semakin banyak bermunculan di Jakarta dan sekitarnya. Pada 2015 area depan Kinosaurus diisi Ruang Seduh, kedai kopi milik Ve Handojo, penulis sekaligus co-founder ABCD School of Coffee, salah satu pelopor dari “wajah baru” Pasar Santa pada 2014. Selain itu Adinda mengajak kawannya yang lain, pemilik Ganara Art Space, untuk membuka cabang di Aksara. Ganara adalah satu inisiatif yang berfokus mengadakan lokakarya menggambar, pembuatan keramik, dan printmaking untuk anak-anak dan dewasa. Adinda memilih melibatkan penggerak komunitas—yang masih selaras dengan nilai awal Aksara—dan berfokus pada musik, desain, film, serta ranah kreatif lokal lain untuk bergabung dan menghidupkan tempat tersebut. Sebetulnya hal ini pula yang membuat Aksara jadi besar dan spesial bahkan sejak awal dibuka—sesuatu yang membuat Aksara turut terlibat dalam lahirnya kultur arus pinggir yang mewarnai Jakarta sampai sekarang.

Janji Jonji dan Pengaruh Aksara Record Saya berbincang via telepon dengan David Tarigan, penggagas label rekaman Aksara Records. Kami membicarakan soundtrack film Janji Joni yang disebut Tarigan sebagai rilisan penting label rekaman tersebut. David, pemilik lembaga pengarsipan musik Irama Nusantara dan kurator Aksara Music, mengisahkan sutradara Joko Anwar dan produser Nia Dinata, teman Winfred Hutabarat, membahas pembuatan film Janji Jonji. Joko mengajak Age “Tutugraff” Airlangga sebagai music director. “Andi ajak gue. Terjadilah deh tuh dorongan-dorongan dari berbagai pihak untuk mewujudkan kerja kolektif ini,” cerita David. Soundtrack Janji Joni diisi oleh grup band independen Jakarta yang menurut Tarigan membawa warna tersendiri pada masanya, seperti The Adams, Sore, Whiteshoes and The Couples Company, Tomorrow People Ensemble, Zeke and The Popo, dan Goodnight Electric. Album itu direkam selama satu bulan. “Studio isinya tempat kumpul anak-anak. Kita bikin lagu-lagu baru yang sesuai sama filmnya juga. Ya contohnya ‘Senandung Maaf’ itu dibuat karena film ini,” ujar David. Kelak OST film ini menjadi salah satu OST film yang populer dan dikenang sepanjang zaman. “Ibu-ibu 50 tahun datang ke Aksara untuk nyari album yang ada lagu dari Teenage Death Star. Itu udah jadi bukti untuk lihat besarnya pengaruh dari album dan film ini,” kenangnya. Sebelum bergabung di Aksara, David adalah mahasiswa seni rupa ITB yang mendirikan sebuah band di Bandung dan rutin bergaul dengan rekan-rekan sesama musisi. Jejaringnya meluas ke Jakarta. Ketika kembali ke ibu kota, ia berkawan dengan para pencinta musik yang juga memiliki band. Gairah David ada pada pengarsipan lagu Indonesia. Album JKT: SKRNG adalah bukti pertamanya jauh sebelum Irama Nusantara lahir. David menilai kawan-kawan musisi di Jakarta sebagai representasi gelora musik di ibu kota saat itu. Ia berkata kepada Hanindito Sidharta, kolaborator Winfred yang menggagas Aksara Music, soal ide merekam lagu milik kawan-kawannya. Hanin menyambut ide itu dan rekaman dilakukan di studio musik milik Hanin, Pendulum, di Jl. Brawijaya, Jakarta Selatan. Hasil rekamannya diberi label Aksara Records. Bila tidak ada album itu, entah kapan kita bisa mendengar album fisik The Adams, Sore, The Upstairs, Teenage Death Star, The Brandals Sajama Cut, C’mon Lennon, Goodnight Electric, dan musisi lain di album tersebut. Band-band itu kemudian sempat meroket dan turut memengaruhi kemunculan musisi independen di Jakarta. Sebagian masih eksis hingga sekarang. David menilai dekade 2000-an adalah masa transisi ketika terjadi pergeseran “episentrum gaya hidup” yang semakin ke arah selatan Jakarta. Dan Aksara Kemang menjadi salah satu pusat skena anak muda atau skena indie. “Aksara menyediakan ruang. Nah, para scenester ini yang pada dasarnya temenan mau ngumpul di mana jadi ngikut,” lanjut David. Sebelum ada “penyesuaian fungsi ruang”, Aksara menjadi tempat konser mini dari band-band independen di Jakarta. Para penjaga toko musiknya adalah nama-nama yang dikenal dalam skena musik arus pinggir saat ini. Sebut saja Merdi (Diskoria), Dipha Barus, Tika (Tika and The Dissidents), Leonardo Ringo, Tony (The Brandals), Andi Sabaruddin (gitaris yang menclok ke mana-mana: The Upstairs, Pandai Besi, dan C’mon Lennon). Kini, enam bulan setelah pembicaraan saya dan Adinda, toko buku Aksara menempati satu ruang di dalam galeri Dialogue Artspace Kemang. Hanya ada dua meja kayu di ruang itu. Yang satu memajang buku buku anak. Yang lain memajang buku nonfiksi dan fiksi untuk dewasa. Sebagian besar buku yang dijual berasal dari penerbit lokal seperti Marjin Kiri yang fokus pada isu sosial, budaya, politik, sastra, dan filsafat.

Sumber : https://tirto.id/aksara-kemang-obituari-sebuah-ruang-komunitas-di-jakarta-selatan-f7J7